Hidayatullah.com–Kualitas demokrasi di Indonesia menurun dan bangsa Indonesia disebut masih belum dewasa dalam berdemokrasi, demikian disampaikan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Prof Dr Jimly Asshiddiqie.
“Misalnya dalam komunikasi publik, karena dulu enggak ada medsos sekarang ada medsos saling jelek menjelekkan satu dengan yang lain. Ini sudah terlalu riskan, itu juga menyebabkan masing-masing saling tuding,” ungka Jimly di Jakarta, Senin (22/04/2019).
Ia mencontohkan lembaga survei yang bersifat independen ilmiah dengan lembaga yang bagian dari tim sukses atau konsultan politik. Ke depannya, tegas Jimly, hal ini harus dibedakan melalui kode etik untuk konsultan politik atau independen.
Jimly pun menilai lembaga survei tak boleh menjadi pihak salah satu pasangan calon (paslon).
“Karena banyak yang kritik mereka lalu membela diri seolah-olah menjadi pihak yang berperkara. Dengan itu ia pihak 01 atau 02, maka tidak ada lagi yang objektif,” ujarnya.
Menurutnya, yang juga membuat kualitas demokrasi agak turun dalam komunikasi publik, adanya pengamat dari berbagai perguruan tinggi yang memakai jas objektivitas namun menjadi pihak salah satu paslon tanpa disadari.
Ia menilai, dari segi prosedur demokrasi sudah oke, partisipasi masyarakat meningkat. “Tetapi dari segi substantif demokrasi agak turun karena ada kualitas dan integritas yang kurang,” ungkap eks Ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama tersebut kutip INI-Net, Selasa (23/04/2019).
Jimly pun menilai bangsa Indonesia belum dewasa dalam berdemokrasi dengan sistem dua kubu. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) yang sistem politiknya selalu terbelah menjadi dua kubu, bahkan sejak sebelum merdeka, tapi punya kekuatan sangat besar di bidang ekonomi, teknologi, militer, dan politik.
Di Negeri Paman Sam tersebut terjadi pembelahan dua kelompok politik: Partai Demokrat yang dekat dengan buruh dan Partai Republik yang menjadi representasi para pengusaha.
Pertentangan dua kubu Partai Demokrat dan Partai Republik sangat sengit sudah sejak lama hingga saat ini, walaupun di AS banyak partai lainnya. Tetapi dengan adanya pertentangan dua kubu yang sengit tersebut AS tetap menjadi negara adidaya yang maju dalam berbagai bidang.
Tegas Jimly, yang menjadi perbedaan antara AS dan Indonesia dalam sistem perpolitikan dua kubu adalah pandangan dalam memahaminya.
“Pertentangan pendapat di antara dua golongan ini sengit sekali tapi untuk hal-hal yang sifatnya objektif, rasional, dan duniawi. Nah di Indonesia ini dua kubu ini ada kaitan dengan akhirat, ini yang jadi masalah,” menurutnya.
Jimly berpandangan, sistem perpolitikan di Indonesia selalu berkaitan dengan surga dan neraka, sebab ada sejarah politik yang belum selesai yaitu sejak di konstituante dan Piagam Jakarta. Ada keterkaitan dengan kebangsaan melawan keagamaan, dimana pada akhirnya mengapa terjadi ijtima ulama dan majelis ulama, sebagaimana keulamaan dijadikan simbol keislaman yang diperlukan oleh politisi.
“Kalau di Amerika kan isunya itu isu objektif duniawi, kalau di Indonesia ada kaitan dengan surga dan neraka. Kalau milih yang satu ini neraka nih nanti, kalau yang satu lagi bilang justru ini yang masuk surga, jadi kita masih belum beranjak sesudah 70 tahun merdeka masih ke situ,” ungkap Jimly.
Walau demikian, ia berharap perseteruan dua kubu politik di Indonesia saat ini bisa menjadi proses pendewasaan dalam berdemokrasi ke depannya, merujuk AS yang tetap maju dan bersatu meski telah berseteru lebih dari 2,5 abad.*