Hidayatullah.com– Bebasnya Neil Bantleman, Warga Negara Kanada, terpidana kasus pelecehan seksual anak yang divonis 11 tahun oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2016 lalu karena diberi grasi oleh Presiden Joko Widodo dinilai kontraproduktif terhadap upaya perlindungan anak.
Wakil Ketua Komite I DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan Politik, Hukum, dan HAM menyatakan, pemberian grasi ini menghambarkan ketegasan negara yang menyatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi.
Aktivis perlindungan anak ini mempertanyakan alasan objektif dan rasional hingga grasi itu diterbitkan oleh Presiden Jokowi.
Fahira menilai Presiden harus menjelaskan kepada publik secara komprehensif kenapa terpidana kasus pelecehan seksual anak berhak mendapat grasi dan sekarang bebas.
“Memang ini hak Presiden. Tapi publik berhak tahu pertimbangannya pemberian grasi ini apa. Bagi saya pemberian grasi ini kontraproduktif terhadap upaya bangsa ini memerangi kekerasan seksual terhadap anak dengan menjadikannya sebagai kejahatan luar biasa,” tukas Fahira di Jakarta dalam siaran persnya kepada hidayatullah.com, Ahad (14/07/2019).
Menurutnya, pemberian grasi ini akan menjadi preseden tidak baik karena dikhawatirkan langkah ini (pengajuan grasi) bakal diikuti oleh terpidana-terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya di Indonesia.
“Bagaimana jika ada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang lainnya berbondong-bondong mengajukan grasi? Saya khawatir muncul persepsi, jika yang 11 tahun saja dapat grasi kenapa yang lain tidak. Ini kan preseden tidak baik,” ujar Senator Jakarta ini.
Ia menilai, sesuai konstitusi walau pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden, tetapi dalam prosesnya harus memperhatikan pertimbangan MA atau DPR.
Oleh karena itu, publik berhak tahu pertimbangan seperti apa dan kondisi apa yang melandasi seorang terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak yang divonis 11 tahun berhak mendapat grasi dan bebas.
“Karena jika pertimbangannya tidak kuat maka sama saja negara menganggap kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan biasa, dan ini mengingkari komitmen kita melawan segala bentuk kekerasan terhadap anak” pungkasnya.
Bantleman, mantan guru JIS yang divonis bersalah karena telah melakukan pelecehan seksual kepada siswa JIS. Bantleman dihukum 11 tahun penjara di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung (MA). Bantleman bersama asistennya, Ferdinant Tjiong, serta lima petugas kebersihan di JIS divonis bersalah karena dinilai terbukti melakukan pelecehan seksual kepada sejumlah murid.
Pada bulan April 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis 10 tahun penjara terhadap Bantleman. Dia pun mengajukan banding dan putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, Agustus 2015.
Usai bebas beberapa bulan, Bantleman menghuni penjara lagi karena di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) memvonisnya bersalah. MA pun menghukum Bantleman 11 tahun penjara.
Diketahui, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM mengonfirmasi grasi yang telah diberikan dari Jokowi kepada Bantleman. Grasi itu diberikan pada 19 Juni lalu, tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 13/G Tahun 2019 tertanggal 19 Juni 2019. Hukuman mantan guru JIS itu berkurang dari 11 tahun menjadi 5 tahun dan 1 bulan penjara serta denda Rp 100 juta.
Ia menyebut Neil sudah bebas dari Lapas Klas 1 Cipinang sejak 21 Juni 2019. Neil pun sudah membayar denda sebesar Rp 100 juta itu. Usai bebas, Neil diserahterimakan kepada pihak imigrasi dan langsung dipulangkan ke negaranya.
Pihak korban pelecehan seksual tersebut melakukan protes atas pemberian grasi oleh Jokowi.*