Hidayatullah.com–Kajian Kuliah Tafsir Buya HAMKA di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru rupanya disambut gembira para jamaah. Kajian yang diasuh Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir, banyak dirasakan sebagai penambah ilmu.
Sharim Hanafi, Ketua Kuliah Dhuha, Masjid Agung Al Azhar, mengatakan hadirnya Kajian Kuliah Tafsir Buya HAMKA sebagai kesempatanbaik bagi para pegiat dakwah untuk menimba ilmu.
Sharim mengatakan, sudah puluhan tahun kajian tafsir yang ditulis semasa Buya dalam tahanan Orde Lama itu ditinggalkan oleh masyarakat. Hal itu seiring kepergian Buya tahun 1981.
Padahal, para ulama di wilayah ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina, banyak berguru pada mantan Ketua MUI pertama itu melalui tafsir karangannya.
Karena itu, hadirnya Kuliah Tafsir Buya HAMKA pada Ahad ketiga setiap bulan di Masjid Agung Al Azhar, bisa mengajak kembali mentadabburi Al-Quran.
Karenanya ia menilai sayang jika masyarakat tidak menyempatkan mengikuti kembali kajian tafsir HAMKA.
“Sayang sekali. Padahal kata Buya, kalau mau perang kita harus mengenal filsafat sejarah, ilmu sosial, dan psikologi,” tutur pria berusia 73 tahun itu belum lama ini.
Sementara itu, Bachtiar Nasir, pengisi kajian tafsir ini mengakui kejeniusan ulama asal Minang itu. Menurunya, gaya bahasa tafsir Al Azhar salah satu yang menunjukkan kejeniusannya.
“Buya HAMKA itu orang jenius yang ketika menulis tafsir, yang dibayangkan adalah jamaahnya yang awam dan beliau berusaha untuk turun dan tidak menunjukkan kejeniusannya,”ulas lulusan Universitas Islam Madinah, Arab Saudi itu.
Kekaguman pimpinan AQL Islamic Center, Tebet, Jakarta, itu tidak hanya karena tafsir tersebut karya asli orang Melayu.
“Dialah orang pertama sedunia yang mendapat gelar doktor Honoris Causa (H.C) dari Universitas Al Azhar-Kairo, Mesir. Itu didapatnya karena beliau sudah bisa menjelaskan pemikiran yang tengah berkembang dan bakal besar di Timur Tengah yang orang Mesir sendiri saja belum tahu,”ucapnya.
Menurut Bachtiar, di hari penganugerahan, pria yang hanya menempuh pendidikan setingkat SD itu bahkan bisa membeberkan pemikirannya dengan bahasa Arab fasih di depan masyaikh (ulama-ulama) Al Azhar dan pemikir dunia.
Menurut Sharim, pernah tiga tahun pernah terlibat diskusi intensif dengan Buya HAMKA, menceritakan tingkah laku Buya terlihat dari cerminan tulisan-tulisannya.
Ia dikenal tegas terhadap pelanggaran syariat Islam, namun selalu menggunakan metode dakwah yang lembut.
Mislanya suatu hari dirinya pernah mendengar seorang artis bertanya hukum cat kuku. “Buya, apakah saya boleh memakai kuteks (cat kuku) berwarna-?” Dengan bijak HAMKA menjawab: “Boleh, tapi kalau mau wudhu dan shalat, dihapus dulu ya,” begitu jawaban HAKMA yang persuasif dan santun.*