Hidayatullah.com- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Prof Din Syamsuddin mengatakan, politik merupakan bidang yang paling krusial bagi umat Islam, padahal politik menentukan keberadaan suatu kelompok dalam kehidupan nasional.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 ini mengangkat agenda politik sebagai salah satu dari sejumlah agenda prioritas yang disampaikannya pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VII di Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, Kamis (27/02/2020).
Din mendorong agar umat Islam pada kongres umat Islam tersebut mencetuskan satu partai politik Islam sebagai kendaraan politik umat yang mayoritas di Indonesia ini.
“Agenda politik umat Islam perlu mengambil beberapa opsi pendekatan: Pertama, mendorong adanya partai politik Islam tunggal yang secara formal berfungsi sebagai kendaraan politik tokoh-tokoh umat Islam dan sarana artikulasi aspirasi politik umat Islam,” ujar Din dalam pidatonya pada Sidang Pleno III KUII ke-7 yang berdasarkan pantauan hidayatullah.com berlangsung hampir satu jam lamanya itu.
Opsi pendekatan kedua, tambah Din, yaitu mendorong diaspora para aktivis Islam ke dalam berbagai partai politik sebagai sarana dakwah politik (al-da’wah bi alsiyasah).
“Ketiga, mendorong organisasi-organisasi Islam untuk berfungsi efektif sebagai agen penguatan landasan budaya (cultural foundation) bangsa, khususnya penguatan literasi politik umat,” tambahnya.
Din menjelaskan, tiga opsi pendekatan tersebut, termasuk partai politik Islam tunggal, didorong oleh suasana perpolitikan di negeri ini.
Kata Din, politik menjadi sarana efektif bagi suatu kelompok dalam perlombaannya dengan kelompok-kelompok lain untuk merebut posisi strategis di arena nasional.
Keadaan umat Islam dalam bidang ini melahirkan dampak baik positif maupun negatif terhadap kiprah umat Islam dalam bidang-bidang lain.
“Masalah utama yang dihadapi umat Islam (baca: pendukung politik Islam formal yang diwakili oleh pendukung partai-partai politik berdasarkan Islam, dan partai-partai politik yang berbasis massa Islam) adalah adanya kesenjangan antara angka demografis umat Islam dan perolehan partai-partai tersebut dalam politik elektoral,” paparnya.
Kenyataan tersebut, sambungnya, pada tingkat tertentu mempengaruhi kekuatan kalangan Islam dalam proses pengambilan strategis kenegaraan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
“Faksionalisasi politik Indonesia berbasis aliran, khususnya antara apa yang disebut sebagai golongan Islam dan golongan kebangsaan/nasionalis (walaupun terminologi ini tidak tepat), ikut mempengaruhi dinamika politik kekuasaan (power politics) dan politik alokasi nilai (value allocative politics),” urainya.
Baca: Wapres: Umat Islam Harus Rapatkan Barisan, MUI Menggerakkan Kepemimpinan
Interaksi antara kedua golongan, walaupun sempat mencair dengan munculnya neo-santri sejak 1990an, kata Din, masih berlanjut terutama pada Era Reformasi yang membawa kebebasan politik.
“Perubahan struktural melalui amandemen konstitusi di awal Era Reformasi lebih lanjut mempengaruhi iklim politik dan positioning politik Islam formal. Pemilihan langsung berdasarkan satu orang satu suara (one person one vote), umpamanya, telah mengubah realitas politik khususnya di lembaga legislatif. Hal demikian ikut dipengaruhi oleh budaya politik pragmatis dengan politik uang (money politics) yang dikendalikan oleh kaum pemodal dan mulai mendiktekan politik,” ujarnya.
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 diselenggarakan pada 26-29 Februari 2020 di Bangka Belitung. Acara yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini dihadiri tidak kurang 800 peserta. Terdiri dari pengurus MUI Pusat hingga daerah, ormas-ormas Islam, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan pemangku kebijakan lainnya.* Azim Arrasyid
Laporan ini terlaksana atas kerjasama Dompet Dakwah Media