Hidayatullah.com- PKS menjadi satu-satunya Fraksi yang menolak ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 menjadi Undang-Undang oleh DPR.
Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta menyebut bahwa sikap penolakan Fraksinya memiliki sejumlah argumen yang mendasar dan substantif.
“Kami melihat Perppu ini bisa membahayakan negara karena punya potensi melanggar konstitusi sementara tujuannya untuk mengatasi Covid-19 beserta dampaknya tidak terlihat menjadi fokus utama,” ujarnya kepada hidayatullah.com semalam (05/05/2020) dalam keterangan tertulisnya.
Sukamta menjelaskan potensi pelanggaran konstitusi terlihat dengan, pertama, Perppu ini mereduksi peran dan kewenangan DPR dalam pembahasan dan penetapan UU APBN dengan Pasal 12 ayat 2 yang mendelegasikan perubahan postur anggaran melalui Peraturan Presiden. Hal ini menurutnya melanggar ketentuan Pasal 23 UUD NRI 1945.
“Substansi Pasal 23 UUD NRI 1945 mengapa APBN harus dibahas bersama antara pemerintah dengan DPR sebagai disebut pada ayat 1 adalah supaya pembahasan uang rakyat ini bisa dilakukan secara terbuka, bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan delegasi ke Peraturan Presiden maka perubahan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dan tidak ada transparansi prosesnya, hal ini bisa rawan penyelewengan anggaran meski pemerintah bilang Perppu ini hanya untuk tahun 2020.”
Yang kedua, menurut Sukamta potensi pelanggaran konstitusi terletak pada aturan kekebalan hukum pada Perppu yang dinyatakan pada pasal 27 ayat 2 bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
“Presiden saja tidak kebal hukum, dan UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan adanya pengakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini bisa dibaca pada pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI tahun 1945. Aturan kekebalan hukum ini jelas melanggar prinsip ‘equality before the law’. Kita tentu tidak menghendaki uang triliunan rupiah jadi bancakan para penumpang gelap. Saya kira sudah ada contoh nyata soal akal-akalan anggaran ini berupa program kartu prakerja dengan pelatihan online senilai 5,6 triliun rupiah dengan menunjuk 8 perusahaan digital sebagai mitra, yang mendapat banyak kritikan masyarakat,” paparnya.
Potensi pelanggaran konstitusi yang ketiga menurut Anggota Badan Anggaran DPR RI ini terletak pada pasal 27 ayat 1 Perppu yang meniadakan potensi kerugian negara atas biaya yang dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK. Hal ini menurutnya telah mengeliminir peran BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 yang memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri.
“Jadi luar biasa sekali Perppu 1/2020 ini, sudah memberi kekebalan hukum masih ditambah setiap tindakan terkait biaya bukan termasuk kerugian negara. Sementara di dalam Perppu juga tidak diatur batasan defisit anggaran. Dengan kewenangan extra ordinary seperti itu sangat membuka ruang penyelewengan dan bisa ditunggangi pihak-pihak yang ingin ambil untung di atas penderitaan rakyat,” ungkapnya.
Anggota DPR RI asal Yogyakarta ini juga menyebut Perppu ini layak ditolak karena tidak fokus untuk menyelesaikan Covid-19 serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Hal ini tergambar dari postur anggaran untuk insentif kesehatan sebesar Rp 75 triliun dan insentif social safety net Rp 110,1 triliun lebih kecil dibanding insentif pemulihan ekonomi Rp 185 triliun dan insentif industri Rp 220,1 triliun.
“Kita sudah pelajari Perppu ini dengan detil. Kita berharap dan mendukung upaya-upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19 dan memenuhi kebutuhan rakyat yang sedang sulit, tapi Perppu lebih banyak muatan pemulihan ekonomi yang potensial problematik.
Mestinya pemerintah prioritaskan anggaran untuk selesaikan pandemi Covid-19 secepatnya dan juga memberikan bantuan jaring pengaman sosial khususnya kepada keluarga miskin, rentan miskin, para buruh yang di PHK dan pekerja sektor informal sebagai pihak yang paling terpukul dampak pandemi virus ini,” paparnya.
Lebih lanjut menurut Sukamta, pemerintah sudah jalankan anggaran Perppu ini selama 2 bulan, tapi masih saja terdengar hingga hari ini keluhan dari banyak rumah sakit kekurangan APD, laboratorium kekurangan reagen untuk pengujian tes swab, sementara masih banyak masyarakat ekonomi bawah yang terdampak belum mendapat bantuan jaring pengaman sosial. Saya kira ini indikasi nyata perubahan anggaran Perppu belum berdampak nyata penyelesaian Covid-19,” ujarnya.
Sukamta kembali menegaskan bahwa penolakan Fraksinya merupakan bagian dari proses check and ballance yang mesti dilakukan sebagai wujud fungsi pengawasan lembaga wakil rakyat.
Menurutnya dengan ada penolakan meski hanya oleh satu partai, harapannya akan membuat Pemerintah lebih serius berbenah, mempersempit ruang penyimpangan serta semakin serius untuk segera mengatasi pandemi Covid-19.*