Hidayatullah.com– Sejarawan Alwi Alatas angkat bicara terkait film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara yang menuai polemik. Alwi mengakui bahwa ia memang pernah diwawancara terkait kekhalifahan dan Nusantara. Namun, Alwi menekankan bahwa penyampaiannya dalam wawancara itu sebatas penjelasan sejarah.
“Beberapa bulan yang lalu saya diwawancara untuk sebuah film dokumenter tentang hubungan Kekhalifahan dan Nusantara di masa lalu. Saya sanggupi ketika itu dalam konteks sepenuhnya sebagai sejarawan. Baru-baru ini saya diundang ke acara launching film dokumenter tersebut yang diadakan pada tanggal 2 Agustus 2020, tapi saya tolak baik-baik,” ujar Alwi dalam keterangan tertulisnya diterima hidayatullah.com di Jakarta, Kamis (06/08/2020).
Kemudian, sambung Alwi, panitia acara tersebut meminta izin kepada Alwi untuk menampilkan cuplikan hasil wawancara itu.
“Panitia minta izin cuplikan wawancara saya ditampilkan di acara tersebut. Saya persilakan, karena memang hasil wawancara,” ujarnya.
“Terkait pertanyaan beberapa orang tentang keterlibatan saya dalam film tersebut, maka perlu dijelaskan bahwa posisi saya hanya sebagai salah satu narasumber untuk sebuah film dokumenter sejarah, tidak lebih dari itu,” ujar Alwi.
Kalau film itu diproduksi dan dikeluarkan untuk memberikan penjelasan sejarah, lanjut Alwi, “Alhamdulillah, memang itu yang saya maksudkan.”
“Namun sekiranya wawancara saya dan film tersebut digunakan untuk menyebarluaskan ide atau gerakan khilafah kalangan tertentu, maka itu di luar pengetahuan saya, tidak mewakili pandangan pribadi saya dan tidak pula saya restui,” pungkasnya.
Sebelumnya sebagaimana diketahui, pada Ahad (02/08/2020) lalu digelar acara peluncuran film Jejak Khilafah di Nusantara. Film ini digarap oleh Nicko Pandawa, mantan aktivis mahasiswa Gema Pembebasan UIN Jakarta.
Pada dalam poster acara, disebutkan sejumlah orang yang menjadi panelis. Selain Nicko, ada pula mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, mantan Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib, dan Felix Siauw.
Sejumlah nama pun tercantum sebagai panelis tamu seperti Teuku Zulkarnaen, Mizuar Mahdi, Alwi Alatas, Moeflich Hasbullah, dan sejarawan yang lebih dari 40 tahun meneliti Perang Jawa (nama lain Perang Diponegoro) sekaligus guru besar emeritus Trinity College, Oxford, Peter Carey.
Rupanya Peter protes, merasa panitia tidak pernah meminta izin.
“Itu tidak bisa diterima. Itu murni pencatutan nama untuk penerbitan salah satu film yang belum diputarkan kepada saya, belum diberitahu kepada saya lebih dulu,” ujar Peter, Selasa pekan ini dikutip Tirto.id (05/08/2020).
Peter mengaku memang pernah diwawancarai sekitar 6 bulan lalu, sebelum wabah Covid-19 menyebar luas di Indonesia. Saat itu, kata Peter, ia diminta untuk memberikan pandangan tentang Pangeran Diponegoro sebagai seorang Muslim saat memimpin perang.
Cuplikan wawancara pembuat film dan Peter itu muncul di dalam film (menit ke-59). “Biasanya jika ingin membuat dan meluncurkan suatu film, saya akan diberi lima menit trailer atau sinopsis terlebih dahulu. Ini tidak sama sekali,” ujar Peter.
Peter merasa kepakarannya di dalam studi Diponegoro dimanfaatkan oleh si pembuat film untuk melegitimasi pandangannya mengenai khilafah di Indonesia –kendati terkesan dipaksakan. Peter mengaku kecewa kepada si pembuat film.
“Pencatutan nama dan ucapan saya untuk menguatkan suatu argumen yang sebenarnya tidak dilandasi oleh landasan yang kuat, salah satunya kearsipan,” sebutnya.
Sedangkan eks juru bicara HTI yang juga salah satu panelis, Ismail Yusanto, menyebut panitia memang tak melakukan konfirmasi terlebih dulu.
Sehingga, katanya mereka akan segera menemui Peter dan meminta maaf. “Karena memang menurut panitia, dalam acara itu sekadar memutar ulang cuplikan rekaman video wawancara,” sebut Ismail saat dikonfirmasi dikutip Tirto.id. “Sebagaimana juga special guest yang lain, yang tercantum dalam poster itu seperti Tengku Zulkarnaen, Moeflich, Dr. Alwi juga sekadar ditayangkan cuplikan rekaman wawancara yang sudah ada lebih dulu.”*