Hidayatullah.com–Juni dikenal bangsa Indonesia sebagai bulan Pancasila. Karena di bulan tersebut pada 76 tahun silam, Pancasila sebagai calon dasar negara, dirumuskan oleh para founding fathers kita.
Patut disayangkan, saat ini banyak orang yang tidak memahami, apalagi melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan mereka. Banyak di antara mereka yang mengaku dirinya “paling pancasila” atau pancasilais, namun pikiran, ucapan, dan perilakunya bertolak belakang dari nilai-nilai yang diajarkan Pancasila.
Demikian pernyataan Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA., kepada hidayatullah.com, Rabu malam (2/6). Menurut Zaitun Rasmin, kelima sila dalam Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
“Bahkan urut-urutan sila tersebut telah dirumuskan secara cerdas oleh para founding fathers kita. Kelima sila tidak disusun secara acak. Tetapi susunannya dibuat berurutan, yang diawali dengan sila paling fundamental, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa,” kata Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah tersebut.
Zaitun Rasmin menambahkan, bahwa intisari dari setiap sila Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara kita adalah (1) ketuhanan, (2) kemanusiaan, (3) kesatuan, (4) kebijaksanaan, serta (5) keadilan sosial. “Dengan demikian, seseorang yang memahami dan melaksanakan nilai ketuhanan, diyakini dapat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ketika nilai kemanusiaan dijunjung tinggi oleh orang tersebut, maka dia akan mudah menerapkan prinsip kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Demikian pula seterusnya,” jelas Zaitun Rasmin.
Alumni Timur Tengah yang pernah 5 tahun mengajar di Islamic University of Tokyo ini sangat memahami betul pemikiran seorang gurunya, Prof. Dr. KH. Hamid Fahmi Zakkasyi yang akrab dipanggil Gus Hamid, tentang nilai ketuhanan dalam Pancasila. “Guru saya, Gus Hamid, pernah menegaskan bahwa seorang WNI dikatakan sebagai pancasilais jika dia religius, atau taat dalam menjalankan agamanya. Jika orang tersebut tidak religius, dipastikan dia tidak pancasilais karena tidak melaksanakan sila pertama. Dan orang seperti ini pasti akan mudah meninggalkan sila-sila lainnya yang diamanatkan oleh Pancasila,” kata Zaitun Rasmin menirukan pendapat Gus Hamid.
Zaitun Rasmin sangat menyayangkan adanya segelintir kecil orang mengaku “paling pancasila” tapi mengkampanyekan berbagai kemaksiatan yang dilarang sila pertama Pancasila. “Segelintir kecil orang ini berusaha menggolkan RUU penghapusan kekerasan seksual, yang ternyata draft ini diyakini sebagai upaya legalisasi berbagai penyimpangan seksual seperti LGBT. Padahal sejak ribuan tahun silam, LGBT diharamkan semua agama di dunia ini. Jika dilarang agama, jelaskah bahwa LGBT bertentangan dengan Pancasila,” kata Zaitun Rasmin.
Dengan demikian, lanjut Zaitun Rasmin, Pancasila mengajarkan kita untuk mentaati ajaran agama. “Jika kita mentaati agama dengan baik, menjalankan perintah agama, serta menjauhi larangan agama, maka kita berhak disebut sebagai WNI yang pancasilais,” ungkap lulusan S3 Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor ini.*/Emnorha