Hidayatullah.com—Hidayatullah.com—Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Syamsuddin Arif menyampaikan bahwa orientalis, dari dulu hingga sekarang, tak pernah lepas dari kepentingan. Dia juga menyebut orientalis sebagai salah satu pintu masuk pemikiran liberal di kalangan muslim, termasuk di Indonesia.
“Orientalis tidak terlepas dari kepentingan. Saat ini, kepentingannya kebanyakan adalah intelejen atau misi internasional,” ungkap Dr. Syamsuddin dalam Workshop Tantangan Liberalisasi dalam tema “Orientalisme Sebagai Akar Liberalisme di Indonesia” pada Ahad (17/10/2021).
Dalam acara ini Syamsuddin menjelaskan beberapa faktor utama kerusakan pemikiran saat ini. Di antaranya adalah serbuan pemikiran Barat, kekeliruan dan kebingungan, hilangnya adab, serta munculnya pemimpin-pemimpin palsu.
Semua itu menurut peneliti Insist tersebut, merupakan lingkaran setan yang berkesinambungan dan saling terkait. Namun, dalam pembahasan kali ini, Syamsuddin memfokuskan pembahasan pada orientalis sebagai salah satu jalur masuknya pemikiran barat selain kolonial dan misionaris.
Berawal dari Gerakan Penerjemahan
Syamsuddin menjelaskan bahwa yang disebut orientalis adalah mereka yang merupakan sarjana / ahli ketimuran, termasuk ke-Islaman. Lebih spesifik, mereka mempelajari peradaban Timur, termasuk bahasa, literasi, sejarah dan agama. Dan kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Kristen.
Orientalis, menurut Syamsuddin, berbeda dengan orientalisme. Ia memaparkan bahwa orientalisme adalah sekumpulan ide dan asumsi yang mendasari pembelajaran ketimuran (orient) oleh para sarjana Barat.
“Oleh karenanya, orientalisme merupakan kerangka berpikir,” ungkapnya.
Ketertarikan Barat untuk mempelajari Islam dan Timur, ujar Syamsuddin, telah dimulai sejak abad ke-11 yang dipicu oleh interaksi Muslim-Kristen semasa perang Salib. Dan hal ini, ungkapnya, dimulai dengan gerakan penerjemahan dimana banyak karya tulis berbahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Latin.
Gerakan orientalisme utamanya terjadi di Italia dan Spanyol, tapi juga menyebar di Prancis, Inggris, dan Jerman. “Dari banyak usaha tersebut, sedikit sekali yang obyektif. Kebanyakan sarat kepentingan,” ungkapnya.
Dampak Orientalisme
Pada periode modern invasi Napoloen ke Mesir merupakan slah satu peristiwa yang memunculkan gelombang orientalis. Mereka berbondong-bondong memepelajari bahasa, budaya, dan agama masyarakat Mesir, yang kebanyakan adalah Muslim.
Ia mengungkap bahawa sejak dulu hingga kini, agenda orientalis selalu persisten dengan kepentingan mereka. Dulu, ia berujar, kepentingan orientalis sejalan dengan kolonial dan, misionaris, dan kini dengan liberalime maupun kerusakan pemikiran lainnya.
Cara bermain orientalis, ungkap Syamsuddin, di antaranya adalah dengan seolah merepresentasikan Islam / Timur, padahal merupakan misrepresentasi. Dan hal itu diakui oleh salah satu orientalis sendiri, Patricia Crone dalam bukunya Hagarism, The Making of Islamic World, bahwa tulisannya adalah “dari infidel (kafir) untuk infidel”.
Syamsuddin mengutip ungkapan Roger DuPasquier bahwa “studi oleh Barat selalu menunjukkan satu hal: ‘sikap anti-Islam para pengarangnya’. Lulusan International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) itu juga menyoroti sarjana Muslim lulusan Barat yang kemudian juga terpengaruh oleh orientalis, meski terdapat juga pengecualian.
Dampak dari mengadopsi studi orientalis mentah-mentah, ujarnya adalah kebingungan, kerusakan, hilangnya adab, dan pengetahuan palsu. Dia pun menyebutkan berbagai kasus yang melibatkan dosen di banyak universitas di Indonesia yang rusak pemikirannya terhadap Islam.
Mengakhiri pembahasanya, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo ini mengingatkan agar kaum Muslim memperhatikan kepada siapa ia belajar. Terutama saat berkaitan dengan agamanya, yakni Islam.*