Hidayatullah.com– Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menerbitkan peraturan menteri (permen) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Aturan ini dimuat dalam Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditandatangani oleh Nadiem pada 31 Agustus 2021 dan berlaku mulai 3 September 2021 usai diundangkan.
Dalam permen tersebut, Nadiem meminta perguruan tinggi melakukan penguatan tata kelola pencegahan kekerasan seksual dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi,” tulis Nadiem dalam aturan itu. Selain itu, dalam Pasal 10 disebutkan ada kewajiban perguruan tinggi melakukan penanganan kekerasan seksual melalui mekanisme pendampingan, pelindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban.
Terkait penjatuhan sanksi administratif, pelaku kekerasan seksual dapat diberikan sanksi administratif ringan, sedang, dan berat. Sanksi administratif berat dapat berupa mengeluarkan mahasiswa atau memberhentikan tenaga pendidik dari jabatannya di kampus.
Nadiem Makarim telah lama mewacanakan untuk menerbitkan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud) terkait isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi tersebut.
Namun, permen ini tidak mengatur perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan seksual. Dr. Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII, mengungkapkan dalam rilis di Hidayatullah.com bahwa “permen ini terlalu sekuler dan menafikan sama sekali pertimbangan ajaran Islam dan agama lain”.
“Padahal, UUD 1945 pasal 31 (3) menyatakan, bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Begitu juga Tujuan Pendidikan dalam UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,” ungkap Adian.
Permendikbud No 30/2021 ini, menurut Adian, sangat menekankan masalah “tanpa persetujuan korban”, sebagai salah satu indikator kejahatan seksual. Dijelaskan pada pasal 5, beberapa contoh “Kekerasan Seksual”, seperti: “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.”
“Jadi, kalau semua bentuk kejahatan seksual (perzinahan atau yang menjurus pada perzinahan) itu dilakukan dengan persetujuan, atau suka sama suka, maka hal itu tidak dimasukkan ke dalam kategori ‘kekerasan seksual’,” ungkap Adian mempermasalahkan.*