Hidayatullah.com — Ustadz Salim A Fillah berbagi penjelasan pemaknaan hadist Qudsi yang berbunyi “Innii ‘inda zhanni ‘abdii bii, sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu. Aku bersamanya ketika dia berdoa kepadaKu.” (HR At Tirmidzi).
Beberapa istilah kemudian dicontohkan langsung ustadz Salim seperti dimuat dalam caption media sosial Instagram @salimafillah, yang beliau beri judul Allah & Prasangka Kita.
Pertama, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa dirinya kotor & meyakini uAllah Maha Suci, niscaya Allah membersihkannya.
Kedua, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa dirinya pendosa & meyakini Allah Maha Pengampun, niscaya Allah memaafkannya.
Ketiga, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa rendah di hadapan Allah & meyakini Dia Maha Tinggi, maka Allah meluhurkannya.
Keempat, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hamba padaKu”; siapa merasa dirinya hina & meyakini Allah Maha Mulia, niscaya Allah meluhurkannya.
Kelima, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa dirinya aib & meyakini Allah Maha Sempurna, niscaya Allah memperindahnya.
Keenam, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hamba padaKu”; siapa merasa dirinya lemah & meyakini Allah Maha Kuat, niscaya Allah mengokohkannya.
Ketujuh, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa dirinya bodoh & meyakini Allah Maha Berilmu, niscaya Allah mengajarinya.
Kedelapan, “Sesungguhnya Aku di sisi prasangka hambaKu kepadaKu”; siapa merasa faqir di hadapan Allah & meyakini Dia Maha Kaya, niscaya Allah mencukupinya.
Dari semua poin itu, dijelaskan Ustadz Salim agar kita tak memahaminya sebagai ‘berprasangkalah sesuka kita, Allah akan patuh pada kita untuk mewujudkan prasangka itu.’
Menurut beliau hal demikian tak benar. “Sungguh ini keliru, sebab bagian hadits berikutnya, ‘Aku bersamanya ketika dia berdoa kepadaKu’, menunjukkan kehambaanlah yang kan mengundang kebersamaan & pertolonganNya,” ujarnya.
Dengan begitu Ustadz Salim melanjutkan agar kita tak memahami bahwa diri kitalah, baru kemudian Allah, penentu & pengubah nasib diri. “Sebab ini adalah faham qadariyah dalam taqdir yang tercela di sisi Ahlus Sunnah,” ungkapnya.
“Ini prasangka yang harus selalu kita jaga kepada Allahu Subahana wa Ta’ala. Wallaahu A’lam bish shawaab,” tutup Ustad Salim.*