Hidayatullah.com—Organisasi Muhammadiyah merumuskan stategi penanganan penyimpangan seksual dan gangguan jiwa, termasuk LGBT. Apalagi ditengarai jumlah pengikut kelainan seksual LGBT diperkirakan telah mencapai lebih dari satu juta orang.
Topik di atas merupakan salah satu pembahasan utama Seminar dan Lokakarya Nasional (SEMILOKNAS) pada Rabu (3/8/2022) yang diselenggarakan oleh Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, MPKU PP Muhammadiyah, dan RSIJ Cempaka Putih, Jakarta.
Acara yang diselenggarakan secara hybrid di Aula AR Fachrudin lantai II Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA (Uhamka), menghadirkan Guru Besar Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga IPB, Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si.
Dalam materinya, Prof Euis memaparkan angka gangguan jiwa jenis ini yang dinilai cukup besar di Indonesia. Menurut Euis, khusus untuk kasus LSL (lelaki sama lelaki) atau homoseksual, ada peningkatan signifikan berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2012.
Jika tahun 2009 totalnya diperkirakan 800 ribu jiwa, pada tahun 2012 diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 1.095.970 di Indonesia. Namun ia menengarai, angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar.
Apalagi kata Euis, kecenderungan orang berorientasi menyimpang seperti LGBT semakin bertambah. Menurut Laporan LGBT Nasional Indonesia (2013) jumlah organisasi LGBT di Indonesia juga terus berkembang.
“Setidaknya ada 2 jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar di antaranya produktif berperan di sektor kesehatan, media informasi, hiburan dan pelaksanaan kegiatan sosial serta pendidikan. Meningkatnya jaringan ini pun ditunjukkan dengan gencarnya kampanye gerakan ini di media. Data Drone Emprit pada bulan September hingga Oktober 2021 menunjukkan bahwa peningkatan pencarian informasi LSL (homoseksual) di media sosial semakin meningkat,” ujarnya dikutip laman Muhammadiyah.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 diketahui prevalensi gangguan emosional pada penduduk berumur 15 tahun ke atas meningkat 1,6 kali dari 6 persen menjadi 9,8 persen pada tahun 2013 hingga 2018. Pada kurun waktu tersebut, prevalensi gangguan jiwa berat meningkat 4 kali lipat dari 1,7 persen menjadi 7 persen.
Data Aplikasi Keluarga Sehat tahun 2015 menghasilkan 15,8 persen keluarga mempunyai gangguan jiwa berat. Dari beragam jenis gangguan jiwa, penyimpangan seksual ternyata masuk ke dalam masalah tersebut.
Ironisnya, berdasar pada Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2017, Indonesia disebut hanya memiliki 48 RSJ dan 269-unit layanan kesehatan jiwa di RSU. Di sisi lain, tenaga pemberi layanan Kesehatan jiwa masih terbatas.
“Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa hanya terdapat 600 hingga 800 psikiater di Indonesia yang di mana per orang harus melayani 300 ribu hingga 400 ribu pasien yang tersebar secara tidak merata. Begitu juga total tenaga psikologi klinis yang terjun langsung di sektor kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang pada tahun 2019. Hal ini jauh di bawah standar WHO yaitu per tenaga psikolog atau psikiater melayani 30 ribu orang,” ungkapnya.
Menurut Euis, hal ini perlu menjadi perhatian bersama, termasuk oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah. Salah satu cara untuk menekan masalah ini adalah dengan menyediakan akses yang memadai bagi layanan kesehatan jiwa.
Sementara itu, Ketua Departemen Dakwah PP Nasyiatul Aisyiyah, Elisa Kurnia Dewi menyebut forum ini penting dilakukan mengingat problem kesehatan jiwa di Indonesia masih cukup tinggi. Selain memberi dampak pada kerugian ekonomi yang cukup besar (kerugian negara sebanyak 84,6 Triliun), problem ini relatif diikuti dengan kekerasan domestik baik kepada perempuan atau anak.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas tegas mengatakan bahwa perilaku atau orientasi seksual Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) adalah orientasi menyimpang. Menurutnya, orientasi seksual yang benar menurut agama adalah heteroseksual.
Hamim menilai, bahwa LBGT saat ini terus diperjuangkan melalui HAM. Namun. HAM di sini sebagai ideologi bukan lagi sebuah nilai.
“Sekarang banyak HAMisme yang memandang LBGT sebagai normal, bukan abnormal. Maka kemudian diperjuangkan supaya itu ada pengakuan yang penuh terhadap LGBT,” ucapnya.
Melihat realitas dan penjelasan yang ada dalam Kitab Suci Al Qur’an, Pengurus Pusat Muhammadiyah ini mengatakan bahwa orientasi seksual LGBT itu bukan takdir. Karena ada campur tangan manusia. Tegas Hamim mengatakan bahwa LGBT tidak bertanggung jawab pada kelangsungan hidup manusia.
“Sehingga LGBT itu bisa dikatakan melawan kodrat, karena kodratnya adalah makhluk tata aturan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan bangsa manusia,” tegasnya.
Karena itu, beragam masalah kesehatan jiwa itu perlu mendapat perhatian khusus dan harus diselesaikan oleh berbagai lini dengan program lintas sektor. Menurutnya, Muhammadiyah dan Aisyiyah mempunyai potensi dalam berkontribusi pada layanan kesehatan jiwa dengan kekuatan struktur ddimulai dari Provinsi hingga kelurahan atau desa, serta ratusan ribu Amal usaha kesehatan Muhammadiyah ‘Aisyiyah (AukesMA).
“Muhammadiyah mampu melaksanakan banyak hal termasuk di antaranya adalah mengedukasi masyarakat, membantu peningkatan layanan kesehatan jiwa, melakukan program promotif, preventif, kuratif ataupun rehabilitatif guna meningkatkan mutu hidup masyarakat serta ikut serta dalam proses advokasi kebijakan,” kata Hamim.*