Hidayatullah.com—Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) kembali menerbitkan catatan evaluatif atas kinerja pemerintahan dalam sektor Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan dikeluarkan bertepatan dengan tiga tahun masa jabatan Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang jatuh pada 20 Oktober 2022.
Laporan ini secara umum berisi sejumlah catatan yang menguji sejauh mana penyelenggaraan Negara telah tunduk pada prinsip demokrasi, HAM, dan rule of law.
“Selama setahun terakhir, kami juga secara aktif melakukan pemantauan dan advokasi guna mendorong perbaikan situasi agar negara dapat menunaikan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak warganya sebagaimana yang dimandatkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan,” demikian laporan yang ditandatangani Koordinator Badan Pekerja KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Dalam merumuskan laporan ini, KontraS mengambil data dengan beberapa metode seperti pemantauan media selama tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin, pendampingan hukum, data jaringan, serta catatan advokasi kebijakan yang dilakukan oleh KontraS – yang kemudian kami analisis menggunakan standar-standar HAM yang berlaku secara universal. “Tak lupa, kami juga mengukur ketercapaian janji Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin dalam sektor HAM,” demikian rilis KontraS.
Selama setahun terakhir, KontraS melihat bahwa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat diarahkan pada pemutihan tanggung jawab pelaku. Ddi sisi lain hal ini mengabaikan pemulihan terhadap pihak korban.
Pada 2019 lalu, demikian laporan KontraS, Jokowi saat kampanyenya berjanji melanjutkan penyelesaian yang berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Akan tetapi, janji Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan hanya merupakan lip service lanjutan sejak periode pertama kepemimpinannya.”
Menurut KontraS, dalam setahun belakangan begitu banyak langkah kontraproduktif yang ditempuh seperti halnya penyelenggaraan sidang pengadilan HAM Paniai yang berjalan buruk. Begitupun langkah lainnya seperti pengangkatan penjahat kemanusiaan menjadi Panglima Kodam Jaya, merupakan preseden buruk bagi penghormatan HAM, reformasi sektor keamanan, serta penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat.
KontraS juga menilai, cara-cara non-yudisial seperti Keppres Tim PPHAM yang telah bermasalah sejak awal dan upaya memecah belah kelompok korban lewat bantuan materil. Belakangan, menurut KontraS, pihak apparat juga menjadi sorotan utama karena kinerjanya menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“Janji Presiden untuk melakukan reformasi Polri demi meningkatkan kepercayaan publik kepada Polri kami anggap gagal total terealisasi. Jalan reformasi Polri yang mendesak tak kunjung ditunaikan oleh pemerintahan Presiden Jokowi,” demikian isi laporan.
Padahal tindakan anggota Kepolisian berupa kekerasan dan pelanggaran telah berimplikasi pada kerugian di masyarakat, lanjut KontraS. Banyak oknom aparat di lapangan yang kerap melakukan pelanggaran seperti penggunaan senjata api dan salah tangkap.
“Sayangnya perbaikan hanya menyoroti citra semata, bukan kinerja. Keresahan masyarakat harus dijawab lewat perbaikan struktural di tubuh Polri dalam kerangka reformasi Polri.”
“Tiga tahun ini kami juga menilai bahwa eskalasi menyempitnya ruang kebebasan sipil terus terjadi ditunjukkan dengan penggunaan UU ITE hingga kriminalisasi oleh pejabat negara,” tulis laporan itu.
“Presiden semacam merestui situasi yang terus memburuk. Represi terus menerus dilanjutkan terhadap mereka yang kritis baik dalam ranah publik ataupun digital, bahkan aktornya tidak hanya berasal dari aparat. Begitupun serangan dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM semakin membuat mereka dalam kerentanan. Selain kebebasan sipil yang terus tergerus, Presiden Jokowi berperan besar dalam membuat demokrasi ambruk dengan melakukan pembiaran terhadap berkembangnya wacana 3 periode dan perpanjangan masa jabatan dengan berlindung dibalik dalih demokrasi.”
Cataan lain KontraS termasuk masalah situasi di Papua, RUU Otsus Papua, RUU DOB, politik keberpihakan terhadap pemilik modal, dan keberpihakan pemerintahan memfasilitasi kepentingan oligarki.
“Di level Internasional, komitmen palsu demi menjaga nama baik terus diproduksi. Akan tetapi, situasi di Indonesia jauh panggang dari api. Rekomendasi UPR yang disampaikan pada Indonesia sampai tahun ketiga kepemimpinan Presiden pun minim dijalankan,” tulis laporan itu.*