Hidayatullah.com– Pudarnya bahasa Melayu tidak terlepas dari peran sistem pendidikan kolonialisme yang memaksakan bahasa Inggris. Kejadian ini berlangsung sistematis dimana Kolonialis Inggris banyak melantik para cendekiawan dan bupati yang terampil dalam bahasa Inggris. Pernyataan ini disampaikan Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang juga Direktur Centre For Advanced Studies on Islam , Science, and Civilization (CASIS) Universitas Teknologi Malaysia dalam seminar internasional bertajuk, “Sejarah Peranan Islam dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa” yang diselenggarakan INSISTS bekerjasama dengan CASIS-UTM.
Acara bertempat di ruang Anggrek Hotel Gren Alia Cikini, Senin 14 Nopember 2011.
Menurut Prof Wan, umat Muslim Melayu akhirnya kehilangan keterampilan untuk mengenali peradabannya sendiri. Dan pada gilirannya jarak antara Muslim Melayu dengan khazanah keilmuannya menjadi terputus.
“Karena sebab itu khazanah peradaban Islam Melayu yang kaya raya itu menjadi tertutup dengan sendirinya. Sedangkan di sisi lain penguasaan mereka terhadap bahasa Inggris membuka paradigma mereka terhadap khazanah-khazanah dalam bahasa Inggris,” terang pria yang sempat membesarkan ISTAC Malaysia ini panjang lebar.
Pada titik inilah, lanjut Prof. Wan, terjadi gelombang besar dari umat Islam Melayu yang silau dengan peradaban Barat. Islam yang seharusnya tegak mendulang sejarah kegemilangannya digantikan peradaban Kolonial.
“Mereka mengganggap (peradaban kolonial) ini sebagai peradaban yang besar,” tambanya yang meski lulusan Chicago tapi sangat aktif mengkritik liberalisme pemikiran Islam.
Salah satu contoh kekayaan peradaban Islam Melayu adalah teks yang ditulis oleh Syeikh Nuruddin ArRaniry pada tahun 1638. Saat itu Ar Raniry menerjemahkan Syarah Al Taftazani kepada Pandangan Imam Syafi’i yang ditulis sekitar abad 13 dan 14. Menariknya Ar Raniry adalah ulama fiqh yang memegang prinsip Fiqh Syafi’i dan Akidah Asy’ari. Sedangkan buku Al Taftazani yang diterjemahkan lebih berasaskan pada fiqih Hanafi dan Akidah Maturidi.
“Ini menandakan kayanya khazanah keilmuan Islam di Melayu sekaligus menunjukkan bahwa Islam di tanah Melayu meski berbeda pandangan fiqh dan mazhab, namun sepanjang itu membawa manfaat maka bisa digunakan,” tambah pria yang sempat bercerita pengalamannya berbeda pendapat dengan FazlurRahman, dosennya di Chicago.
Acara yang dimoderatori oleh Dr. Nirwan Syafrin juga menghadirkan beberapa pembicara lainnya, di antaranya: Prof. Dr. Muhammad Zainy Uthman (CASIS), dengan tajuk: Tranformasi Minda Umat dalam Sejarah Dunia Melayu, Dr. Khalif Muammar (CASIS) dengan ajuk: Kerangka Pemikiran Melayu Tradisional, Dr.AdianHusaini (INSISTS) dengan tajuk: Penyatuan Nusantara, antara Fakta dan Fiksi: Eksposisi Pemikiran Prof. SMN al- Attas, Prof. Dr. Didin Saefuddin Buchori (Universitas Ibn Khaldun Bogor) dengan tajuk: Perlunya Pelurusan Pemahaman Sejarah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Diakhir acara, para peserta yang berjumlah lebih dari 120 orang ini mendapatkan beberapa makalah serta dua buah buku: Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi karya Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Budaya Ilmu dan Gagasan 1 Malaysia Membina Negara dan Bahagia karya Prof. Dr. Wan Noor Wan Mohd Daud.*