Hidayatullah.com– Mengajak untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim merupakan perintah agama sehingga tidak boleh dikategorikan sebagai tindakan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Sebaliknya, memilih pemimpin sesuai dengan keyakinan agama dijamin undang-undang.
Demikian dikatakan Ketua Presidium Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI), Sabriati Aziz.
“Justru yang menuding ajakan tidak memilih pemimpin non-Muslim (sebagai) SARA sama saja tidak menghormati keyakinan beragama seluruh warga negara yang dijamin konstitusi,” kata Sabriati kepada hidayatullah.com di Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Sabriati menegaskan lembaganya pun telah menyatakan mendukung pemimpin Muslim untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
Namun, dia mengingatkan, BMOIWI tidak dalam posisi mendukung apalagi menghalangi-halangi orang untuk menjadi pemimpin.
“Melainkan ini sebagai ikhtiar politik yang berlandas pada nilai moral-religiusitas untuk menyeru umat Muslim memilih pemimpin Muslim. Dan ini sehat dalam atmosfer demokrasi kita,” ujarnya.
Sabriati menerangkan, pemimpin Muslim di tengah mayoritas masyarakat Muslim yang dipimpin, akan berkesusaian dengan tradisi dan lingkup perilaku ritualitas kehidupan masyarakatnya.
Lebih jauh ia mengungkapkan, masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat religius. Sehingga, tidak bisa jika masyarakat dituntut untuk tidak menggunakan agama dalam kehidupannya, termasuk dalam hal memilih pemimpin.
“Bahwa pemimpin Muslim akan mendukung kepentingan Muslim dan mengayomi penganut keyakinan lainnya tanpa paksaan. Dalam sejarah kepemimpinan Islam, saat Rasulullah jadi pemimpin maka umat lain pun akan aman di bawah kepemimpinan Muslim,” imbuhnya.
Namun, lanjutnya, sebaliknya jika pemimpin non-Muslim yang memimpin, dalam banyak kasus, kaum Muslimin berada dalam diskriminasi dan dilanggar hak-haknya. [Baca juga: Kepemimpinan Ahok Dinilai tidak Sesuai dengan Amanat Bangsa]
Tidak Boleh Melecehkan
Karenanya, ia menegaskan bahwa pernyataan, seruan, dan atau imbauan agar memilih pemimpin atas dasar iman adalah sah dan bukan tindakan SARA. Bagaimanapun, menurutnya, semua penganut agama yang baik melakukannya.
“BMOIWI menekankan bahwa memilih pemimpin dengan motif agama, tetap tidak boleh mengandung unsur penghinaan atau pelecehan terhadap agama, suku, atau etnis tertentu. Sebab, semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama termasuk untuk menjadi pemimpin,” ujar Sabriati.
Pihaknya mendorong dan mendukung pemuka agama terutama ulama untuk terus memberikan pencerahan dan pendampingan kepada umat Islam, dalam menghadapi beragam masalah.
“Tak terkecuali dalam soal kepemimpinan untuk Indonesia maju, adil, kuat, bermartabat, dan berperadaban mulia,” tutupnya. [Baca juga: Ulama Dan Tokoh Nasional Dorong Masyarakat Pilih Pemimpin Muslim Berprestasi]*