Hidayatullah.com– Menanggapi permintaan Menko Polhukam Wiranto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda proses hukum calon kepala daerah yang terindikasi korupsi, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai Wiranto tidak bisa menempatkan diri.
Meski maksud Wiranto kelihatan baik, yakni menjaga stabilitas jalannya demokrasi, namun menurutnya itu dapat diartikan juga sebagai sikap permisif terhadap sikap koruptif dalam demokrasi.
“Sesungguhnya ‘politik biaya tinggi’ akan terus merusak demokrasi Indonesia,” katanya.
Sepanjang ada bukti yang cukup, kata dia, KPK dapat menetapkan siapa saja termasuk calon kepala daerah.
“Tidak ada kekuasaan apapun yang dapat menghentikan, kecuali upaya hukum lainnya seperti praperadilan -itupun jika perkaranya belum diadili di pengadilan- atau mengubah norma melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi,” jelasnya kepada hidayatullah.com Jakarta, Rabu (14/03/2018).
“Eksekutif setinggi apapun jabatannya tidak bisa intervensi pada kekuasaan kehakiman termasuk pada KPK sebagai penegak hukum independen yang bagian dari kekuasaan kehakiman,” tambahnya.
Urusan KPK itu, kata Fickar, adalah penegakan hukum. Bukan politik.
“Jadi tidak ada masalah. Bahkan kalau ‘kegaduhan politik’ jadi pertimbangan, justru KPK itu berpolitik,” ucapnya.
Penegakan hukum terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi ini, terangnya, agar juga memudahkan pemilih untuk tidak memilih koruptor, “Yang jika jadi mungkin akan lebih banyak merugikan negara,” pungkasnya.* Andi
Baca: Pilkada 2018, KPK-Polisi Diminta Awasi Praktik Politik Uang