Prof Sigit menilai RUU yang telah disahkan menjadi UU Ciptaker itu berbahaya, sebab pengelolaan sumber daya negara diarahkan diolah secara ekstraktif. “Paradigma undang-undang ini menunjukkan bahwa negara kita diarahkan pada pengelolaan sumber daya ekstraktif,” ujarnya pada konferensi pers secara online kemarin dikutip laman Antaranews, Rabu (07/10/2020).
“(UU) ini sangat berbahaya dan bertentangan dengan arus global bahwa pengelolaan sumber daya negara itu diarahkan pada proses yang inovatif dan sangat memperhatikan aspek lingkungan sebagai fundamental dari pengelolaan seluruh sumber daya yang ada di negara,” tambahnya.
Baca: WALHI Sebut Pengesahan RUU Cipta Kerja Puncak Penghianatan Negara
Prof Sigit menilai, penyusunan UU seharusnya tunduk pada kaidah dan cara yang mengacu pada peraturan hukum yang baik, bisa dipertanggungjawabkan, dan visioner.
Akan tetapi, dalam penyusunan RUU Ciptaker, kata Prof Sigit, masukan dari akademisi, masyarakat sipil, serta pemangku kepentingan malah diabaikan.
Prof Sigit menilai RUU Ciptaker itu menggunakan pendekatan liberal kapitalistik dalam pengelolaan sumber daya negara, sehingga tak sesuai dengan konstitusi dan pandangan pendiri bangsa. RUU tersebut di saat yang sama justru mengesampingkan perlindungan kepada warga negara sehingga makin termaginalisasi.
“Pembuatan undang-undang atau hukum yang sekarang kita hadapi ini adalah menunjukkan ada masalah yang harus disikapi dan direspons dengan kritis dengan harapan kita bisa memperbaiki seluruh kekurangan yang ada,” ungkapnya.
Sebelumnya, pada Senin (05/10/2020) pekan ini, DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Ciptaker menjadi undang-undang. Sebanyak 6 fraksi menyatakan setuju, satu fraksi memberikan catatan, yaitu Fraksi PAN, sedangkan dua fraksi lainnya menolak persetujuan RUU Ciptaker jadi undang-undang. Fraksi yang menolak yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Diberitakan hidayatullah.com, Anggota Baleg Fraksi PKS Bukhori Yusuf menyesalkan proses pembahasan Omnibus Law RUU Ciptaker yang terkesan terburu-buru. Ia melihat waktu pembahasan yang singkat tersebut berpotensi menimbulkan malpraktik di kemudian hari ketika UU tersebut diimplimentasikan.
“RUU berisi 1.203 pasal, berdampak pada sekitar 79 UU eksisting, dan diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun menunjukkan bahwa pembahasan RUU ini seolah dipaksakan. Tuntutan waktu yang sangat singkat ini jelas tidak memberikan ruang memadai bagi fraksi-fraksi lain untuk mengkaji secara cermat terhadap setiap detil pasal yang ada dalam RUU ini,” kata Bukhori Yusuf dalam keterangan tertulisnya, Selasa (06/10/2020).*