Hidayatullah.com – Parlemen ‘Israel’ Knesset mensahkan rancangan undang-undang (RUU) yang memungkinkan mempersekusi guru-guru Palestina di ‘Israel’ jika mereka dianggap “bersimpati pada operasi atau serangan terhadap Israel”, menurut kantor berita Wafa.
RUU yang berdampak pada guru dan lembaga pendidikan Palestina itu telah melalui pembacaan kedua dan ketiga meski adanya kritik dari Komite Tindak Lanjut Pendidikan Arab (AEFC).
Dalam kritiknya, AEFC mengecam RUU tersebut sebagai “upaya untuk mempromosikan budaya ketakutan dan merepresi kebebasan berbicara dan pendidikan kritis”.
Undang-undang tersebut juga memungkinkan Menteri Pendidikan untuk membekukan anggaran sebuah lembaga pendidikan jika “terbukti” bahwa staf di sekolah tersebut mengidentifikasi, bersimpati, atau menunjukkan dukungan terhadap “terorisme”.
Perlu diketahui, terorisme yang dimaksud oleh ‘Israel’ adalah perlawanan terhadap penjajahan Zionis atau serangan kepada mereka. Label tersebut sama halnya seperti anti semit, yang Zionis sematkan kepada mereka yang menolak sistem apartheid dan penindasan terhadap Palestina.
Bahkan, menurut Arabi21, UU yang diajukan oleh anggota Knesset Zvika Fogel dari partai Kekuatan Yahudi dapat memberhentikan guru dari pekerjaan mereka tanpa pemberitahuan.
Media tersebut mengatakan bahwa ada diskusi yang juga telah beredar, yang menunjukkan bahwa undang-undang tersebut juga dapat mencakup institusi pendidikan yang berada di Palestina dan Yerusalem timur yang diduduki.
“RUU ini didukung oleh 55 anggota Knesset, sementara 45 anggota menentangnya,” kata Fogel.
Dia menunjukkan bahwa undang-undang tersebut akan berlaku untuk setiap warga Palestina yang dihukum karena pelanggaran keamanan serius yakni secara terbuka menyatakan solidaritas terhadap “tindakan teroris” atau mempublikasikan seruan langsung agar tindakan permusuhan dilakukan.
Dalam penjelasan RUU tersebut, dinyatakan bahwa RUU tersebut diperkenalkan karena ada “fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah di mana para guru, dan terkadang manajemen sekolah, menunjukkan simpati terhadap aksi-aksi teroris. Fenomena ini kebanyakan terjadi di sekolah-sekolah di Yerusalem timur dan melibatkan penghasutan kepada anak-anak di bawah umur untuk menentang negara Israel”.
Menanggapi hal ini, AEFC mengatakan bahwa mereka akan bermitra dengan organisasi-organisasi hak asasi manusia untuk menilai kemungkinan mengajukan petisi hukum terkait RUU baru tersebut, dengan mengatakan bahwa RUU tersebut “tidak lain adalah langkah tambahan dalam kebijakan sistematis untuk membuat masyarakat Palestina di dalam negeri tidak boleh menyampaikan pemikiran kritis yang bertentangan dengan pemikiran yang berlaku dan pendekatan umum”.
Salam Irsheid, pengacara dari kelompok hak asasi manusia Adalah, mengatakan kepada The New Arab bahwa undang-undang tersebut merupakan serangan langsung terhadap identitas Palestina dan ekspresi identitas nasional, serta kebebasan berbicara yang sedikit berbeda dari konsensus di Israel.
Ia juga mengatakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada kriteria yang ambigu dan “memprediksikan penggunaan kontraterorisme secara sistematis oleh pihak berwenang Israel sebagai dalih untuk menekan kebebasan berbicara warga Palestina dan melanggar hak-hak mereka”.
“Undang-undang ini mengabaikan supremasi hukum dan proses hukum, memberikan keleluasaan yang tidak terbatas kepada entitas politik yang secara historis menunjukkan permusuhan terhadap warga Palestina… Pada akhirnya, hal ini akan memperburuk lingkungan yang tidak bersahabat di mana warga Palestina dibungkam karena takut akan adanya pembalasan,” lanjutnya.*