Hidayatullah.com — Imam Masjid Baitul Muttaqien, Tolikara, Papua, Haji Ali Mukhtar, mengaku tak menduga sebelumnya jika akan terjadi insiden Tolikara yang kemudian membuat nama kabupaten di Provinsi Papua itu mendunia.
Pasalnya, kata lelaki berkumis asal Lumajang, Jawa Timur ini, hubungan antar agama di wilayah tersebut relatif baik. Ia juga secara aktif membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh gereja yang ada di wilayah tersebut.
“Kami bahkan selalu saling tolong jika membutuhkan bantuan. Penduduk yang kebetulan beragama Kristen selalu mengundang kami jika misalnya mereka menggelar hajatan, begitu juga sebaliknya.” ujarnya di hadapan jamaah Masjid Ummul Quro Ponpes Hidayatullah Depok, belum lama ini.
Saking dekatnya, Imam Ali Mukhtar sampai-sampai mendapatkan panggilan unik dari warga asli setempat. Ia selalu disapa dengan sebutan “Bapak Pendeta Itlam” (Pendeta Islam, red). Terdengar aneh barangkali, tapi begitulah adanya. Panggilan itu terus melekat hingga kini.
“Lidahnya memang cukup kewalahan menyebut kata Islam karena belum familiar di telinga mereka, akhirnya jadinya itlam. Bahkan saya kadang-kadang dipanggil utbab, maksudnya ustadz. Terkadang dipanggil ulbat atau utlat,” selorohnya.
Kata Ali Mukhtar, demikianlah realitas sesungguhnya masyarakat asli Tolikara. Sangat natural dan apa adanya. Keawaman mereka terhadap ajaran agama Islam membuatnya asing dengan istilah-istilah Islam termasuk sekedar untuk penyebutannya.
Masyarakat Tolikara menurutnya memang masih sangat asing dengan hal-hal yang berbau Islam, sehingga anggapan mereka seorang dai, imam, atau muballigh dianggap sama dengan pendeta dalam agama Kristen sehingga mereka pun menyebut imam Ali Mukhtar sebagai “Bapak Pendeta Islam”.
Lebih jauh Haji Ali Mukhtar yang telah menekuni dakwah sekitar 9 tahun di Tolikara mengutarakan secara kuantitas umat Islam di Tolikara memang sangat minoritas dimana umumnya mereka adalah pendatang.
Menurut Ali, meski minoritas umat Islam membaur dengan baik dengan masyarakat setempat. Hubungan sosial sehari-hari pun berlangsung penuh kekerabatan.
“Mereka pun tak jarang menawarkan bantuan perawatan masjid kendati itu misalnya hanya memperbaiki pintu masjid yang rusak. Walaupun mereka non-muslim, saya selalu dipanggil untuk potong kambing atau sapi kalau mereka adakan acara,” imbuhnya.
Kendati hubungan sosial terbangun baik, Ali mengakui tetap saja umat Islam harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh penganut agama mayoritas setempat. Diantaranya misalnya, masjid tidak boleh mengumandangkan azan, papan nama masjid tidak boleh mencolok, serta pembatasan atribut-atribut Islam lainnya.
“Tapi tidak apa-apa, kita ikuti saja asalkan kita aman dan bisa beribadah dengan tenang,” imbuhnya.
Ali Muchtar berharap kehidupan beragama di Tolikara kembali kondusif tanpa perlakuan diskriminatif dari pihak manapun. Karenanya, ia mengapresiasi aparat kemananan dan tokoh-tokoh agama yang telah aktif menjalin kembali simpul kebersamaan yang sempat terciderai tersebut.
Meskipun kini tak memiliki rumah karena terbakar, Ali dan keluarga kini ditampung oleh seorang Kristiani sekaligus tokoh pemangku adat setempat bernama Viktor Kogoya yang memang sudah akrab dengannya jauh sebelum tragedi Tolikara terjadi.
“Kami umat Islam Tolikara ingin terus berada di sini dan hidup berdampingan dengan damai dengan siapapun. Jika kami diserang, kami toh tidak bisa kemana-mana. Di depan gunung, di belakang gunung, di samping gunung. Tolikara dikelilingi gunung, jadi mau kemana lagi,” ujarnya.
Dikutip laman resmi Kabupaten Tolikara, wilayah ini terdiri dari 46 distrik dengan ibukota kabupatennya berkedudukan di Distrik Karubaga. Ditinjau dari kondisi topografinya, Kabupaten Tolikara umumnya memang berada pada wilayah yang berbukit-bukit sampai bergunung, berkisar antara 1000 mdpl sampai dengan 3.300 mdpl.*