Hidayatullah.com–Mungkin Rhoma Irama tidak menyangka, ceramahnya agar warga DKI memilih pemimpin yang seiman di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, hari Ahad (29/07/2012) akan berbuntut panjang. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) memanggilnya karena dituding telah menyebarkan ‘Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan (SARA) kepada warga.
Tuduhan itu kemudian langsung dibantah Bang Haji, sapaan akrab Rhoma Irama. Ia bertanya balik kepada pihak-pihak yang menuduh ceramahnya berpotensi SARA dalam ketentuan Pilkada. “Bagaimana dengan kalangan gereja dan etnis Tionghoa yang mendukung pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), apakah hal itu bukan termasuk SARA?” katanya.
Lantas bagaimana perspektif HAM melihat kasus Rhoma? Betulkah Si Raja Dangdut telah menyebarkan kebencian pada etnis tertentu? Adakah pihak-pihak tertentu yang bermain dalam hal ini? Apalagi seperti diakuai Tim sukses pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) Rhoma Irama bukan bagian dari tim kampanye mereka.
Untuk itu, hidayatullah.com mewawancarai Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saharuddin Daming. Menurutnya, umat Islam memiliki kriteria sendiri dalam memilih pemimpinnya. Dan apa yang dilakukan Rhoma hanyalah salah satu bentuk dari tuntutan itu.
“Itu semua adalah bagian dari kebebasan menjalankan ibadah, itu kan dijamin undang-undang,” tandasnya. Inilah sebagian petikan wawancaranya.
Rhoma Irama mengajak masyarakat Muslim untuk memilih pemimpin beragama Islam. Apakah dia salah?
Mari kita tempatkan segala sesuatu secara proporsional objektif, jelas, dan bebas dari intrik. Harus dilakukan investigasi secara menyeluruh lepas dari berbagai kepentingan dari orang-orang yang sedang bertarung. Bahwa Bang Haji melontarkan pernyataan yang oleh pihak lain merasa sebagai sesuatu yang diskriminatif, saya pikir itu tidak adil. Karena apa yang dilakukan Bang Haji pada konteks keislaman adalah sesuatu yang tidak sekedar menjadi kewajiban bagi dirinya, tapi juga untuk semua umat muslim karena itu adalah petikan ayat dalam Al Qur’an dan diperkuat dalam hadis bahwa kita dalam memilh pemimpin punya kriteria.
Maksudnya?
Semua kelompok agama apapun pasti juga punya kriteria. Saya kira dari dulu di zaman Bung Karno ada kriteria pemimpin. Katanya, pertama dia harus Jawa. Kedua, dia harus Islam, dan ketiga dia nasionalis. Berarti yang di luar itu sudah kecil kemungkinan. Begitu juga di zaman Orde Baru. Maka ketika Rhoma membuat kriteria pemimpin menurut keyakinanya adalah suatu yang sah dan tidak perlu dipersoalkan. Tapi ketika Rhoma tampil dalam khutbah untuk mengajak pemimpin Islam, apa yang salah? Sebagai pribadi Muslim saya kira kita terikat dengan hal itu, bukan hanya Rhoma. Masalahnya lain, ketika Bang Haji berada pada momentum menjadi tim sukses.
Tapi saya menyadari tidak semua orang mau menempatkan masalah ini secara proporsional. Sekarang atsmosfer politik di Jakarta sedang hangat-hangatnya sehingga hal itu menjadi sensitif. Saya khawatir jika ini digunakan oleh pihak yang satu untuk menjungkirkan lawan politiknya dengan mengatasnamakan sebuah kejadian oleh seorang superstar. Kalau saya sebagai seaorang lawyer, saya siap membela mati-matian Bang Haji jika hal itu dipersoalkan. Apalagi Rhoma tidak termasuk ke dalam salah satu Tim Kampanye. Dia hanya menyatakan sebagai pribadi, lha kalau sebagai pribadi dia punya hak dong? Lalu mana itu kebebasan berbicara dan berpendapat?
Artinya, apa yang dilakukan Rhoma bisa tidak terkait SARA?
Itu semua adalah bagian dari kebebasan menjalankan ibadah, itu kan dijamin undang-undang. Tentu hal-hal seperti ini harus dibebaskan dari intrik-intrik politik. Rhoma Irama melakukan itu kan tidak sebagai intrik politik, dia hanya menjaga gawang.
Persoalannya kenapa yang jadi sasaran tembak oleh salah satu kubu adalah Bang Haji? Apakah karena dia superstaratau upaya untuk menciptakan character assasination (pembunuhan karakter)?
Waduh saya sangat menyesalkan, jadi bangsa kita yang menjunjung demokrasi tapi kok sering tebang pilih dan tendensius. Orang yang berbuat baik kok dibilang jahat? Memang dunia ini dilanda keterbalikan. Yang haqq dianggap bathil. Dan bathil dianggap haqq.
Panwaslu memanggil Rhoma Irama dalam kasus ini. Menurut anda apakah Panwaslu memiliki hak untuk menangkap artis, kyai atau tokoh untuk memilih pemimpin Muslim?
Kalau menangkap sudah pasti enggak. Karena Panwaslu tidak memiliki hak untuk menangkap. Bahwa dia berhak untuk melakukan pemeriksaan orang yang terkait dengan pelanggaran Pemilu, itu iya. Tapi saya berpendapat pihak yang memiliki kewenangan termasuk Panwas harus mencermati kasus untuk tidak melihat hitam-putihnya, tapi juga dilihat dari sisi-sisi lain. Karena jangan sampai ini dipakai orang-orang tertentu untuk meraih popularitas dan meraih rating, tapi menjungkirkan nama baik orang lain. Apalagi kita tahu bahwa Bang Haji melakukan itu lepas dari kepentngan politik, dia hanya melakukannya sebagai seremoni keagamaan.
Saya juga suka melakukan hal itu untuk mengajak orang bertakwa. Takwa itu apa sih? Takwa itu tidak hanya sekedar mentaati segala yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangannya, tapi juga termasuk perintah-perintah Nabi ketika kita disuruh memilih pemimpin. Saya kira dari dulu kita umat Islam disuruh untuk memilih pemimpin yang islami.
Jika ini dilarang, akan ada pertanyaan, apakah Nabi juga harus dibawa ke Panwas?
Jika ada Pendeta mengajak memilih Ahok di gereja, apakah itu juga SARA?
Kalau Rhoma Irama bisa dipanggil, harusnya mereka juga. Jadi maaf untuk para Pendeta dan Biksu, yang mendukung salah satu partai tentu saya yakin juga sudah mengajak teman-temannya di Glodok untuk memilih yang sipit-sipit. Apakah itu salah? Itu tidak salah. Itu hak orang untuk mengajak terhadap apa yang diyakininya. Kecuali jika dibilang, ”Hei, jangan pilih Rhoma Irama karena rambutnya gondrong.” Tapi kalau mereka mengajak untuk memilih karena alasan dia sipit, kan boleh-boleh saja.
Apa saja contoh yang bisa disebut SARA dalam Pilkada?
Pertama, SARA itu isunya selalu membenturkan di antara empat kategori, yakni Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Jadi ada opini yang dibenturkan di mana yang satu dianggap paling hebat dan yang satu dijelek-jelekkan sehingga terjadi konfrontasi antar keduanya.
Kedua, dilakukan oleh orang yang berada dalam salah satu kubu yang resmi. Jadi jika dia tidak berada dalam satu kubu, itu tidak masuk kategori SARA.
Dalam Kapasitas ini Rhoma Irama berarti tidak termasuk?
Iya, karenanya menurut saya teman-teman dari Panwas salah kaprah. Paling tidak kita baca kembali peraturan perundang-undangan, supaya kita adil dan obyektif menempatkan kasus ini sehingga kita bisa menarik benang tanpa ada tepung yang berserakan.
Bagaimana sebenarnya SARA dan kedudukannya di Pilkada?
SARA adalah makhluk yang berada di ruang bebas, sehingga dia memungkinkan ditafsirkan sesuai kehendak penafsir. Bahwa apa yang dilakukan Rhoma dikatakan SARA, tergantung siapa yang menafsirkan itu. Kalau diminta untuk menafsirkan, saya yakin itu sungguh terlalu naif jika digolongkan SARA. Jika itu dikatakan SARA, akan banyak sekali orang yang dipidanakan karena mengajak kepada entitas tertentu. Jadi itu rumitnya hidup dalam negara yang menjunjung tingggi Hak Asasi dan demokrasi di tengah upaya umat Islam menjunjukkan identitas keislamannya.
Akankah kasus seperti Rhoma ini masih terus terjadi dalam konstelasi politik nasional?
Iya, sekarang kita makin edan. Tantangan kita semakin nyata, di mana Islamphobia menggejala di mana-mana. Umat Islam menurut saya tidak ada pilihan kecuali terus menggerakan upaya meingkatkan kualitas keberagamaan umat hingga perlahan tapi pasti Umat Islam Indonesia menyadari betapa hebat dan bermaknanya Islam sebagai agama dalam menuntun berbangsa dan benegara. Sekarang ini opini yang digiring bagaimana agama disingkirkan dari seluruh perilaku berbangsa dan bernegara sehingga yang bermain di situ adalah setting akal, teknologi, dan konsep-konsep Barat.*
Baca juga: “Siapa Menuding SARA, Terpercik Muka Sendiri”