Ia telah menggali 500 kuburan, ,meskipun menghadapi berbagai tantangan dan cibiran, mereka tidak pernah mengeluh menikmati tugas mulia, sebagai penggali kubur
Hidayatullah.com | KETIKA yang lain tertidur lelap, dihantui mimpi, di sebuah pemakaman, sekelompok penggali kubur terlihat bekerja tanpa lelah untuk menguburkan jenazah yang baru tiba pada pukul 2 pagi.
Usianya telah mencapai 61 tahun tetapi Salbiah Shadan masih cukup energik untuk menggali kuburan bersama suami dan lima temannya selama setahun terakhir.
Berawal dari niat sekadar membantu suaminya, nenek 11 cucu ini kemudian diserap ke dalam ‘komunitas’ penggali kubur rutin setiap kali terjadi kematian di sekitar desanya di Batu Gajah, Perak, Malaysia.
Salbiah menuturkan, secara kebetulan salah satu penggali kubur tidak dapat melakukan pekerjaan berat tersebut akibat terlibat kecelakaan.
“Karena keterbatasan orang, saya menawarkan diri untuk membantu agar proses penggalian kubur dapat dilakukan lebih cepat,” ujarnya dikutip laman Harian Metro.
“Para penggali kubur di sini semuanya berusia di atas 60 tahun dan memiliki keterbatasan tenaga. Oleh karena itu, pekerjaan menggali kubur perlu dilakukan secara bergiliran.”
“Dengan niat ingin membantu, mencari pengalaman baru dan mengisi waktu luang, saya ikut suami ikut membantu menggali kubur bersama. Selain itu, bersama sahabat saya Siti (Siti Mainom) yang sudah lama menggeluti bidang ini, “Saya tidak merasa canggung,” katanya.
“Menurutnya, awalnya kariernya memang sulit, namun lama kelamaan ia menikmatinya karena bisa membantu banyak orang,” ungkapnya.
Meski begitu, dalam menjalankan tugasnya tersebut, ia tak lupa untuk tetap menjaga batasan dan selalu menunjukkan akhlak yang baik sebagai seorang perempuan.
“Saat menggali liang lahat, masyarakat dan keluarga almarhum belum ada di liang lahat. Jadi saya ikut membantu. Namun, setelah jenazah tiba, saya duduk agak jauh dari liang lahat untuk memberi ruang kepada para lelaki dan keluarga. untuk mengatur pemakaman, ” katanya.
Pekerjaan menguburkan jenazah harus segera dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia karena lokasi pemakaman lama tidak memiliki jalur masuk bagi ekskavator.
Lain Salbiah Shad, lain pula Siti Mainom Syed Mohd Saai. Masyarakat yang tinggal di luar daerah Batu Gajah, Perak, Malaysia, pasti merasa agak aneh melihat perempuan terlibat dalam proses penggalian kubur, yang biasanya dilakukan oleh kaum lelaki.
Namun bagi warga sekitar, kehadiran nenek empat cucu ini bukanlah hal yang asing karena selama enam tahun terakhir ia telah menggali hampir 500 kuburan.
Meski telah berusia 57 tahun, pemuda asli Sungai Siput, Perak, itu terlihat masih giat mengayunkan cangkul untuk menunaikan ibadah fardu kifayah secara sukarela.
Sering bekerja bersama lima penggali kubur laki-laki termasuk suaminya, Aznol Hisham Abdullah, yang dijuluki ‘Komunitas Kubur,’ Siti Mainom tidak canggung berguling-guling di tanah.
Komunitas Penggali Kubur
Kini, selain Siti Mainom, ‘Komunitas Penggali Kubur’ juga beranggotakan seorang penggali kubur perempuan yang bergabung sejak setahun lalu.
Siti Mainom mengatakan keterlibatannya di bidang ini terjadi ketika dia dan suaminya diundang untuk membantu melakukan pekerjaan penggalian kuburan yang dipimpin oleh saudara angkat mereka, Musa Mansor, 62 tahun.
Ia menuturkan, saat itu ia dan sang suami yang baru saja sembuh dari kecelakaan baru saja selesai menunaikan ibadah umrah.
“Saya mulai dengan melakukan pekerjaan ringan sebelum diberi kesempatan untuk membantu menggali kuburan setiap kali terjadi musibah kematian.”
“Sebagai seorang wanita, ini adalah tugas yang sangat menantang karena Anda harus menggali selama jangka waktu antara satu jam hingga tiga jam, tergantung pada kondisi tanah dan cuaca,” ujarnya.
Meskipun saya orang yang kuat, menggali kuburan bukanlah hal yang mudah karena membutuhkan banyak kekuatan fisik dan mental. Pertama-tama, menggali kuburan itu sangat sulit dan telapak tangan saya sakit karena saya tidak terbiasa menggunakan cangkul, tambah dia.
Setelah diberi kesempatan menggali kuburan beberapa kali, lama kelamaan saya pun mengembangkan minat dan kegembiraan yang membuatnya menjadi ‘kecanduan.’
“Jika saya tidak pergi ke kuburan sehari saja, saya merasa canggung,” ujarnya.
“Jika tidak ada yang meninggal, saya tetap akan ada di sana untuk membersihkan area sekitar (pemakaman),” katanya.
Menurutnya, pekerjaan sebagai penggali kubur membutuhkan komitmen tinggi dan perlunya kesiapan setiap saat.
“Tugas menguburkan jenazah tidak menyita waktu, kadang saya bekerja sampai jam 2 pagi. Bahkan, kami seharian berada di pemakaman karena ada tiga kematian sekaligus di hari yang sama.”
Selain itu, ada insiden di mana kuburan yang digali harus dikubur kembali setelah tulang-tulang tua ditemukan.
“Meskipun menghadapi berbagai tantangan, kami tidak pernah mengeluh karena kami menikmati tugas ini dan dapat membantu memudahkan para ahli waris dalam menyediakan ‘rumah terakhir’ bagi anggota keluarga mereka,” katanya.
Menurutnya, tak ayal banyak ahli waris yang tinggal di luar desanya merasa heran setelah melihat dirinya ikut menggali kubur. Sebab, mereka belum pernah melihat perempuan melakukan hal tersebut sebelumnya.
“Keterlibatan saya di bidang ini bukan untuk membuktikan apa pun. Sebaliknya, saya menganggap ini sebagai berkah dan tanggung jawab yang harus dipikul,” katanya.
Pengalaman tak terlupakan
Berbagi pengalaman yang tak terlupakan, Siti Mainom menuturkan, dirinya pernah diberi tanggung jawab untuk menguburkan jenazah anak sahabatnya.
“Kematiannya memberi dampak yang mendalam karena saya sudah menganggapnya sebagai anak saya sendiri. Meski sedih, saya tetap menjalankan tugas sebaik-baiknya sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum,” katanya.
Ditanya apakah pernah terjadi kejadian mistis atau aneh, ia bersyukur hal seperti itu tidak pernah terjadi.
“Dulu saya juga sempat memikirkan hal ini. Namun, sekarang saya tidak terlalu memikirkannya karena saya sudah mantapkan niat untuk memenuhi amanah yang diberikan,” ungkapnya.* bh