MINGGU ini saya berkesempatan menghadiri Konferensi Internasional di Hong Kong. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di negeri ini.
Ingat Hong Kong jadi ingat Bruce Lee, Legenda superstar Kung Fu yang akhirnya menjadikan nama kota ini mendunia juga serangan gencar film-film Mandarinya.
Satu keinginan selama mengikuti konferensi, adalah keliling kota di negeri ini, terutama berkunjung ke tempat-tempat komunitas Muslim.
Apalagi saat pertama kali datang, saya sempat merasa kesal lantaran sulitnya mencari tempat shalat di hotel penyelenggaraan simposium diadakan.
Padahal hotel yang menjadi lokasi konferensi itu bukanlah hotel kecil dan tidak ternama, melainkan hotel berbintang yang sering menjadi tujuan para turis asing yang berdompet tebal.
Kala itu, saat masuk waktu Zhuhur, saya berpikir untuk menjamak ta’khir. Namun sampai masuk waktu Ashar, saat mencari tahu dimana letak “prayers room” , pihak penyelenggara-pun tidak menyediakan.
Bahkan istilah “prayers room” pun pihak penyelenggara tidak paham. Saya memutuskan turun ke lobby dan menanyakan kepada pegawai yang selalu stand by di sana. Pegawai pertama yang saya tanya menanggapi dengan sopan. Sepertinya ia mengerti dengan kebutuhan saya untuk shalat.
Dia menunjukkan sebuah ruangan di sudut hotel bertuliskan “Chapel Room”.
“Ruangan itu kosong dan Anda boleh melakukan itu di sana,” demikian ujarnya.
Namun ketika saya datangi, ruang dalam keadaan terkunci. Sepertinya hanya pemegang kartu kamar hotel saja yang bisa membukanya.
Saya kembali ke lobby dan bertanya kedua kalinya sekaligus menanyakan bagaimana membuka Chapel Room tersebut.
Tidak disangka pegawai hotel yang sebelumnya menyarankan saya shalat di Chapel Room sudah tidak di tempat.
“Ruangan itu bukan untuk Anda beribadah! Jika ingin beribadah, silakan menuju tempat ini,” katanya sambil membuka peta Hong Kong yang besar di hadapannya.
Menurut peta, masjid terdekat dari hotel itu harus berjalan sekitar 5 kilometer dari hotel. Sebelum dia menunjukkan lokasinya, saya memotong pembicaran, “Maksud Anda, saya harus berjalan sangat jauh dari tempat ini untuk saya bisa shalat? Tidak, saya hanya minta area selebar ini (sambil menunjukkan area selebar sajadah) dan waktu lima menit saja untuk saya pakai shalat, masa tidak ada sedikitpun area yang boleh saya gunakan di hotel sebesar ini?”
“Tidak ada. Jika ingin shalat, silakan cari tempat shalat di luar, “ begitu katanya.
Rupanya waktu Ashar sudah hampir habis. Saya mencari ide agar bisa shalat dengan nyaman, tanpa diketahui pihak hotel. Saya khawatir kalau ketahuan shalat sembarangan akan jadi masalah baru lagi nantinya. Tentu akan lebih menyulitkan saya sendiri.
Akhirnya saya menemukan tangga darurat yang sepi dan jarang digunakan. Meskipun berdebu, tapi saya yakin debu bukanlah najis. Saya bergegas ke toilet untuk berwudhu dan mengambil tisu agak banyak untuk alas saya bersujud.
Tangga darurat hotel berbintang di Kowloon, Hong Kong, tempat saya shalat
Alhamdulillah, satu-persatu rakaat berhasil saya tunaikan. Hati saya lega luar biasa. Usai shalat saya berdoa, agar kelak Allah Ta’ala memberikan kemudahan bagi penyebaran Islam di negeri ini. Hingga jangan ada lagi Muslim yang kesulitan untuk mencari tempat bersujud. Dan agar umat Islam bisa lebih dihargai dan diberikan posisi yang mulia.
Usai menyelesaikan acara utama, simposium. Satu hal yang ingin saya lakukan di Hong Kong adalah ‘blusukan’ mencari masjid-masjid di negeri itu.
Mungkin ini akan menjadi kepuasan tersendiri buat saya bisa shalat dan berinteraksi dengan orang-orang sekitar masjid di sana. Dan yang lebih penting lagi, minimal saya bisa berbagi cerita kepada teman-teman yang mungkin merasakan kesulitan yang sama ketika berkunjung ke Hong Kong.*/bersambung..
Penulis Aditya Abdurrahman, dosen sebuah universitas swasta di Surabaya