Aku adalah seorang yang terlahir dari keluarga pas-pasan,tidak banyak pilihan yang bisa di lakukan untuk keluarga miskin seperti kami, apalagi dengan kondisi saudara yang masih kecil-kecil.
Sebagai seorang anak yang mencintai keluarganya, sudah barang tentu aku berpikir sebuah cara untuk membantu orangtua yang telah membesarkanku. Namun dengan ijazah formal yang tidak dapat dibanggakan, apalagi keadaan negeri tengah carut-marut, seakan tertutup harapan ini melangkah.
Aku hanya seorang wanita yang masih sangat muda saat itu. Di tengah ramainya kasus buruk akibat krisis moral bangsa, banyak wanita muda sepertiku rela mempertaruhkan apapun demi mendapat segepok rupiah, tak peduli hal tersebut haram atau halal.
Di tengah kebingungan yang mendera, datanglah seorang wanita yang kebetulan teman tetanggaku, dia wanita yang cukup menarik, menceritakan kepadaku tentang pekerjaannya yang menjanjikan jutaan rupiah. Katanya, kerjanya ringan dan tidak memandang ijazah.
Saat aku tanya jenis pekerjaannya, dia mengelak. Atas kehendak Allah, seseorang yang sangat dekat dengan wanita tersebut secara sembunyi-sembunyi mengabarkan kepadaku tentang jenis pekerjaan yang ditawarkan kepadaku tersebut. Pekerjaan itu tak lain pekerjaan yang menyewakan harga diri dan kesucian pada lelaki hidung belang, tepatnya di kota Batam. Duh Gusti Allah, lebih baik kami sekeluarga mati kelaparan daripada harus hidup dengan uang yang didapat dengan cara kotor.
Akhirnya, pekerjaan tersebut aku tolak mentah-mentah, hingga datanglah kabar tentang kesuksesan-kesuksesan Tenaga Kerja Wanita (TKW) luar negeri. Padahal, saat itu masih sangat sedikit dikampungku yang menjadi TKI.
Tapi bagaimana saya yang masih belum genap sembilan belas tahun harus pergi keluar negeri? Sungguh sangat mengerikan. Masalahnya, bagiku berpangku tangan melihat kesengsaraan orangtua dan adik-adik di kampung akan jauh lebih mengerikan. Sebab mereka membutuhkan bantuan.
Demi rasa bakti yang tulus terhadap keluarga tercinta, aku akhirnya nekad mendaftarkan diri menjadi TKW, aku tak berpikir apa resikonya.
Sembari aku menyiapkan diri menjadi TKW, aku serimg bertanya-tanya kepada para wakil-wakilku, para anggota dewan yang terhormat, yang sering memasang spanduk di depan jalan kampungku dan senantiasa berbibir manis dalam menjanjikan kesejahteraan orang kampung seperti kami.
Janji-janji seperti itu, sering saya lihat menjelang Pemilu tiba. Namun, dengan kenekatanku ke luar negeri, kira-kira ke mana mereka semua yang pernah berjanji manis itu?
Saya ingat sebuah kutipan dalam al-Quran, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka.”
Tiada gunanya saya menghujat anggota dewan. Biarlah kelak di hari pengadilan nanti Allah yang menghadapinya. Toh, keluargamu makan atau tidak, mereka belum tentu peduli.
“Menjual” bangsa sendiri
Tak menunggu waktu lama, saya akhirnya berangkat juga ke luar negeri. Sebelum berangkat, saya pertama kali sangat terkejut ketika ditampung oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di kota Surabaya. Pertama yang saya rasakan, kehidupan di penampungan itu sangat memprihatinkan. Kami layaknya budak di hadapan staf PJTKI.
“Oh ini gambaran-gambaran orang uang d bertebaran menjual warganya sendiri.”
Dan lebih terkejut lagi, saat mendengar kabar dari salah satu teman, bahwa sebelum menjalani proses menjadi calon TKW, kami harus medical ceck-up dahulu. Dokter yang memeriksa kami adalah laki-laki. Lebih kurang ajar lagi, saat medical ceck-up, kami diharuskan telanjang. Katanya, ini untuk memastikan bahwa calon TKI/TKW benar-benar dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
“Oh Ya Allah, kami ini bukan pelacur, kami ini punya keinginan memperjuangkan nasib buruk kami di desa untuk keluarga. Jika ada pekerjaan lain lebih baik, mungkin kami juga tak mau menjadi TKW.”
Untuk urusan tidur, kami layaknya ikan teri yang dijejer secara rapi di atas lantai dengan kasur tipis. Untuk urusan makan, kami harus mengantri dengan antrian panjang. Makanan yang kami makanpun seperti makanan yang lebih cocok untuk makan kucing, di kampung kami.
Para staf PJTKI di tempat kami seperti jelmaan Fir’aun yang menuhankan dirinya. Ingin rasanya saya berontak, berteriak pada para bapak-bapak yang berkuasa. “Wahai bapak pemerintah, apakah kalian bisa melihat kesengsaraan nasib rakyatmu? Di mana kalian ketika kami seperti ini?”
Jika tak ingat keluarga dan demi sesuap nasi, mungkin saya sudah balik ke kampung halaman. Namun mengingat itu semua, apalagi uanng yang kami keluarkan juga tak sedikit, akhirnya semua “kekejaman” dan “pelecehan” itu pura-pura aku lupakan.
Akhirnya, sebelum rangkaian medical ceck—up aku lewati, ada peristiwa tragis yang menimpa seorang PJTKI. Kala itu, PJTKI didemo warga. Kami tidak tahu pasti alasannya, beberapa para calon TKW berhasil kabur dari PJTKI. Sebagian dikurung oleh PJTKI, seolah hewan. Bahkan tidak ada celah sedikitpun untuk melirik dunia luar selama ditampung PJTKI.
Aku bersama kawan-kawan lain kabur, lalu pindah ke PJTKI yang lebih ramah dan tidak menyuruh kami menggugurkan harga diri.
Meski tidak bisa dikatakan layak, setidaknya PJTKI yang baru lebih baik dibanding PJTKI Surabaya yang sebelumnya aku huni.
Di tempat baru, kami harus menunggu berbulan-bulan di PJTKI, tentusaja dengan rutinitas yang monoton dan membosankan, membuat kami benar-benar jenuh.
“Ya Allah, hanya demi sesuap nasi kami harus menghadapi kesengsaraan demi kesengasaraan?”.
Akhirnya, kabar menggembirakan itu datang juga. Aku mendapat pekerjaan di negeri seberang, di Negara Hong Kong. Alhamdulillah.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Hong Kong, aku sangat kaget dengan keindahan kota ini. Sungguh semuanya serba canggih, tak seperti di desaku, di Jawa Timur. Sampai toko kelontong kecilpun menggunakan pintu kaca yang otomatis. Bangunan-bangunan yang kokoh dan rapi. Tidak ada pengemis atau anak jalanan yang berkeliaran di jalan, karena orang jobless (pengangguran) dan ekonomi lemah mendapat santunan tiap bulan dari pemerintah di sini.
Rakyatnya disiplin dan pekerja keras, tidak ada anak muda yang nongkrong-nongkrong di jalanan sambil bawa gitar, sebagaimana saya lihat di Indonesia.
Saya lebih bergembira, ketika bos ku, yang kini menjadi tempatku bekerja, ternyata ramah dan baik. Ia tidak gila hormat seperti staf PJTKI di Indonesia.
Mereka tegas tapi tidak menuntut penghormatan berlebihan. Justru masalah terbesar yang kami alami adalah dari pemerintah kami sendiri, pihak KJRI.
Pejabat konsulat yang ditugaskan untuk melayani dan melindungi rakyatnya, sepertu kami, justru melakukan diskriminasi berlebihan pada TKW.
Sampai Satpam Konsulat pun ikut-ikutan tertular sombong, sama sombongnya dengan pejabat Indonesia yang lain.
Suatu ketika, saat kami memperpanjang paspor, kami harus mengantri yang sangat panjang. Hingga ada warga China yang mengantar pembantunya memperpanjang paspor-pun marah-marah di kantor Konsulat Indonesia. “Pelayanan pejabat Indonesia tidak professional,” demikian ujar seorang warga China tersebut.
Suatu hal yang kelihatan mencolok dari pejabat Indonesia adalah, mereka membawa budaya Indonesia ke Hong Kong. Misalnya, budaya sok, pemalas, dan lamban dalam bekerja. Kadang acuh terhadap kepentingan rakyatnya sendiri, seperti para TKW.
Saat saya bercerita ini, di Hong Kong sedang hangat kasus kontrak mandiri, di mana dengan kontrak mandiri tersebut TKW bisa memperpanjang kontrak dengan bos-nya tanpa melalui agen.
Namun menurut teman-teman TKW, saya mendapat kabar, pihak konsulat justru mempersulit proses kontrak mandiri dan mencabutnya secara diam-diam.
Andai berita ini benar, kami benar-benar merasa sedih. Justru di tempat asing, kami tak dimudahkan oleh bapak-bapak kami yang berkuasa.
“Wahai bapak-bapak pejabat, yang ditugaskan dari uang pajak kami, Kami para TKI dan TKW, bukan budak yang tidak berharga. Sebelum kalian dibenci rakyat dan akan mendapatkan siksaan di yaumul akhir, tolonglah, perhatikan nasib kami wargamu ini.” [Cerita ini ditulis langsung oleh seorang TKW dan dikirim ke redaksi hidayatullah.com]