PAGI itu, udara terasa segar. Matahari terlihat tersenyum indah, menyapa penduduk bumi dengan sinarnya yang kemerah-merahan dari ufuk timur. Anginpun tak mau kalah. Sesekali ia berhembus, memanjakan siapa saja yang tengah menikmati udara pagi. Kicauan burung nan merdu, yang tengah beterbangan di angkasa, menjadi pesona tersendiri akan keindahan suasana pagi hari itu.
Dari jendela kamar, kulihat tak sedikit orang tersihir menyaksikan secuil Kemahabesaran Allah ini. Sepertinya, hati gadis yang tengah berbunga-bunga. Wajah-wajah kekebahagiaan, nampak jelas tersirat dari senyum yang memerkah dari kedua pipi mereka, seterang mentari yang tengah menunjukkan kedikdayaannya.
Namun itu tidak bagiku. Pagi itu kulalui dengan perasaan begitu berat. Sebabnya, aku masih terngiang-ngiang akan perkataan salah satu familiku dari ujung telepon, yang baru saja kuterima. Dan hal itu cukup mengganjal hati.
“Disuruh ngomong gitu saja tidak bisa! Ya sudah lah, percuma juga sekarang ribut-ribut,” ujarnya kala itu, dengan nada penuh emosi. Setelah berucap demikian, HP pun langsung dimatikan. Saya sebagai lawan bicara, tersentak kaget. Lidah menjadi kelu karenanya.
Sebelumnya, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan demikian. Yang ada, justru beliau senantiasa membahagiakanku, ia masih membiayai seluruh keperluan pendidikkanku hingga aku lulus, tanpa dia meminta pamrih. Wajarlah, kalau dia menjadi sosok yang sangat kusegani.
Namun pagi itu, di pertengahan tahun 2007 silam, untuk pertama kalinya aku mendapat amarah. Dan itu bermuara dari ketidaksiapanku melakukan permintaannya; berkata bohong.
Ceritanya, adalah salah satu famili kami (perempuan) yang mencoba mencari keuntungan di negeri seberang, Arab Saudi, sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Awalnya, komunikasi antar kami sekeluarga dengan dia yang berada nun jauh di sana, lancar-lancar saja.
Namun, tidak lama berselang, tiba-tiba saudari kami tersebut berujar, “Jangan hubungi saya terus yah, soalnya majikkan saya suka marah, kalau melihat saya sering menggunakan HP,” begitu pesannya.
Awalnya, kami sekeluarga memaklumi permintaan tersebut. Akan tetapi, semuanya berubah menjadi kekhawatiran yang sangat, manakala kami senantiasa gagal untuk menghubungi dia. Padahal, sudah cukup lama kami putus komunikasi (berkisar 3-4 bulan dari permintaannya tempo hari itu). Tidak satu dua kali kami mencoba menelpon, tapi, hasilnya tetap saja nihil. Semua nomor yang dihubungi pada non-aktif.
Pernah suatu hari, terdengar jawaban dari seberang, ketika keluarga mencoba menelpon nomor majikkannya. Sayang, jawaban yang diterima tidak sesuai dengan yang diinginkan. Mereka bilang, kalau saudari kami tersebut tidak bekerja di sana. Dengan demikian, sudah barang tentu, kecemasan semakin memuncah, dan menghantui kami sekeluarga.
Tidak mau patah arang, pihak keluarga menemui orang yang menjadi wasilah keberangkatan saudari kami itu, tetapi, tetap saja membentur tembok tebal.
Singkat cerita, karena usaha-usaha selalu mentok, pihak keluarga memintaku (Yang memiliki sedikit bekal bahasa Arab) untuk mengubungi pihak majikan. Runyamnya, mereka memintaku untuk mengaku sebagai suami dari saudari kami tersebut.
Terus-terang, ketika mendapat mandat demikian, hatiku berkecamuk, antara menjalankan tugas sesuai dengan apa yang diperintahkan atau tidak. Bagiku pribadi, kejujuran adalah suatu prinsip yang harus dipegang-teguh. Sudah lama aku memupuk prinsip ini. Sebab itu, ketika diminta untuk melakukan kebohongan, batinku berontak. Akhirnya, akupun lebih memilih untuk mengikuti suara hati, dengan berkata jujur; bahwa aku adalah salah satu familinya (bukan sebagai suamisebagaimana yang di’dektekan’).
Pada malam hari yang telah ditentukan, akupun menelepon. Alhamdulillah ada jawaban dari seberang sana. Setelah aku menjelaskan maksud dan tujuanku, si-majikan pun menerangkan posisinya saat itu, kalau dia sedang berada di luar rumah, dan dia memintaku untuk menunggu sekejap. Dia berjanji, ketika sudah sampai rumah, dia akan menghubungi balik.
Untung tidak bisa diraih. Rupanya janji tinggallah janji. Orang tersebut tidak jua menghubungiku. Ketika dihubungi balik, HP-nya pun tidak pernah diangkat. Akhirnya, harapan untuk mampu bercakap-cakap dengan saudariku malam itu, pun pupus jua.
Keesokan harinya, seusai sholat shubuh, salah satu sahabatku berlari-lari kecil menuju arahku, dan menyampaikan kalau ada telepon dari keluarga. Mendengar demikian, akupun sempat ‘kikuk’ barang sesaat, memikirkan bagaimana menjelaskan hasil yang saya peroleh semalam, sekiranya mereka menanyakan hal tersebut. Sejurus kemudian, dengan tekat bulat dan diiringi do’a, dan tentunya dengan menyiapkan mental juga, aku putuskan untuk berterusterang dengan apa yang telah aku lakukan.
Mendengar penjelasanku, sosok yang selama ini kujadikan “pahlawan” hidupku itu, langsung naik pitam. Kemarahannya memuncah. Hasilnya, nada-nada kasar penuh emosi –yang dulunya tidak pernah aku dapatkan- pun meluncur deras dari bibirnya, menghujam hatiku.
Aku hanya bisa diam……diam…..dan diam. Pikirku, percuma juga membela diri, dia tetap tidak akan terima, meskipun diutarakan seribu alasan.
Sejak peristiwa itu terjadi, hampir setiap saat, terutama ketika sedang bersujud (sholat) kepada-Nya, aku senantiasa berdo’a agar Allah melapangkan urusan kami ini.
Allah maha mendengar bagi hamba-hambanya yang yang tulus bermunajat. Persis keesokkan harinya, setelah peristiwa ‘naas’ tersebut, nada dering pesan HP berbunyi. Setelah saya lihat, terpampang nama ‘Aziz’ (nama samaran untuk saudaraku yang mendampratku). Setelah kubuka SMS-nya, subhanallah, keajaiban telah terjadi. Saudaraku itu meminta maaf dengan sangat, atas apa yang telah diucapkannya. Tersirat dari tulisan SMS-nya penyesalan yang mendalam. Dan yang lebih penting lagi, dia memberitahu, kalau saudari kami yang selama ini kami nanti-nantikan kabarnya, telah menelpon, dan memberi kabar, kalau dia baik-baik saja.
Seusai membaca SMS tersebut, hatiku riang tak terkira. Tanpa kusadari, cairan-cairan bening mengalir membasahi pipi. Aku menangis, menangis bahagia.
Selanjutnya, aku pun langsung bersimpuh di hadapan-Nya, bersujud syukur, mensyukuri karunia-karunia yang begitu besar, diantaranya; mengabulkan do’a kami agar mampu mengetahui keberadaan saudari kami yang telah lama kami cari, serta telah menyelamatkanku dari fitnah bohong.
Dan yang menakjubkan, sekaligus mempertebal keyakinanku, kalau semua yang terjadi atas pertolongan Allah semata, yaitu ketika saudari kami tersebut pulang ke tanah air, dan menjelaskan bahwa majikannya sama sekali tidak pernah menyuruh dia menghubungi pihak keluarga di Indonesia. Atas inisiatifnya sendirilah, yang didasari rasa kangen yang begitu besar, sehingga dia menelpon.
Yaaa Allah, Engkaulah Pemutar Balik hati, serta yang membisikkan ke hati saudari kami suatu bisikkan, sehingga dia menghubungi kami, tepat pada waktu yang kami butuhkan. Dan Engkau pun telah menyelamatkanku dari fitnah bohong ini.
Ibaratnya, diriku telah merengkuh ‘madu’ setelah ‘tersengat tawonnya’*
Sebagaimana yang diceritakan oleh Sakim, guru salah satu sekolah Islam di Jawa Timur