DAN saat itu terjadi lagi. Suatu pagi saya bangun, pikiran saya jelas seperti lonceng. Pikiran pertama yang berkelebat melalui otak saya adalah, bagaimana saya harus bersyukur kepada Tuhan, yang Dia telah membangunkan saya untuk menghadapi hari lain yang penuh peluang. Padahal sebelumnya saya merasa seperti biasa saja, setiap hari di sepanjang hidup saya.
Setelah pengalaman ini, saya tidak bisa lagi menyangkal keberadaan Tuhan. Memang setelah 25 tahun menyangkal Tuhan, tidak mudah juga untuk mengakui keberadaan-Nya dan menerima iman. Tapi hal-hal yang baik terus terjadi padaku. Saya kemudian menghabiskan beberapa waktu di Amerika Serikat, dan pada saat ini, saya mulai berdoa, serta merasa dan belajar untuk fokus pada Tuhan dan mendengarkan apa yang dikatakan hati saya.
Sampailah kemudian di akhir pekan yang bagus di New York. Semula sempat cemas juga, tapi akhirnya bisa terlewati dengan berhasil. Sebagian besar dari semua itu karena akhirnya saya bertemu Shahida.
Pada titik ini tidak ada lagi jalan balik, walaupun saya belum melakukannya. Kembali ke Swedia, Tuhan terus membimbing saya. Saya terus banyak membaca lagi, dan saya akhirnya memiliki dorongan untuk pergi ke masjid terdekat dan bertemu dengan beberapa Muslim. Kaki saya gemetar saat saya mendatangi masjid, padahal sebelumnya saya telah melewatinya berkali-kali. Tapi tidak pernah berani untuk berhenti dan mengunjungi.
Saya bertemu orang-orang terbaik di masjid, dan diberi beberapa banyak bahan bacaan dan membuat rencana untuk mendatangi dan mengunjungi saudara-saudara Muslim di rumah mereka. Apa yang mereka katakan atau memberi jawaban, semuanya masuk akal. Islam pun menjadi bagian utama dari hidup saya. Saya mulai berdoa secara teratur dan pergi shalat Jumat untuk pertama kali.
Sungguh indah sekali. Saya menyelinap masuk dan duduk di belakang. Saya tidak mengerti apa yang disampaikan khatib, tapi menikmati kondisinya. Setelah khotbah, kita semua berkumpul dalam baris dan shalat dua rakaat. Ini salah satu pengalaman paling indah yang pernah saya miliki dalam perjalanan saya ke Islam. Ketulusan 200 orang yang hadir di masjid hanya tercurahkan kepada satu hal; memuji Allah yang Maha Besar.
Perlahan-lahan, pikiran saya mulai setuju dengan hati saya, dan saya mulai membayangkan diri saya sebagai seorang Muslim. Tapi sungguh-sungguhkah saya masuk Islam? Saya telah lama meninggalkan gereja, bisakah nanti saya mengerjakan shalat lima kali sehari? Bisakah saya berhenti makan daging babi? Bisakah saya benar-benar melakukannya? Dan bagaimana dengan keluarga saya dan teman-teman? Saya ingat apa yang dikatakan saudara saya bernama Omar kepada saya, bagaimana keluarganya telah menyingkirkan dirinya saat ia menyampaikan telah masuk Islam.
Bisakah saya benar-benar masuk Islam?
Melalui gelombang internet, saya juga telah mendapat informasi. Ada berton-ton informasi tentang Islam di luar sana. Saya mengunjungi hampir setiap situs yang terkait dengan Islam, dan saya banyak belajar dari situ.
Apa yang benar-benar membuat perubahan dalam diri saya adalah cerita berjudul “Dua belas Jam” dari seorang wanita Inggris yang baru masuk Islam. Ia pernah mengalami perasaan sama seperti saya. Ketika saya membaca ceritanya, saya menangis dan menyadari bahwa tidak ada jalan untuk kembali lagi; saya tidak bisa menolak Islam lagi.
Memasuki liburan musim panas, saya telah memantapkan pikiran. Saya harus menjadi seorang Muslim. Namun awal musim panas masih terasa sangat dingin. Jika cuaca mulai cerah selama minggu pertama liburan saya, saya ingin terlebih dulu tidak melewatkan sinar matahari dan harus pergi ke pantai. Di TV, pembaca acara cuaca telah menyebutkan matahari akan bersinar sepanjang hari. Baiklah, saya akan masuk Islam pada hari berikutnya.
Keesokan paginya langit tampak abu-abu, dengan hembusan angin dingin bertiup di luar jendela kamar saya. Rasanya Tuhan telah memutuskan, inilah saatnya, dan saya tidak bisa menunggu lagi. Saya pun mandi wajib (ghusl), mengenakan pakaian bersih, kemudian melompat ke mobil dan melaju selama satu jam menuju masjid.
Di masjid, saya mendekati beberapa saudara dan memberitahu mereka tentang keinginan saya menjadi Muslim. Setelah shalat Dhuhur, imam dan beberapa saudara menyaksikan saya mengucapkan dua kalimat Syahadat. Allhamdulillah.
Yang melegakan saya, semua keluarga dan teman-teman menerima baik masuknya saya ke Islam; mereka semua menerimanya. Saya tidak bisa mengatakan mereka senang, tapi mereka tidak punya perasaan menolak sama sekali.
Tentu saja, mereka tidak dapat memahami semua hal yang saya lakukan, seperti sholat lima kali sehari pada waktu tertentu atau tidak makan daging babi. Mereka berpikir, praktik-praktik ini merupakan kebiasaan aneh yang akan mati dalam perjalanan waktu. Tapi saya akan membuktikan bahwa mereka salah, insya Allah!*/Kisah ini diceritakan Ibrahim Karlsson, dan dimuat pada laman OnIslam.