MUNGKIN ini mengejutkan Anda bahwa saya memiliki pernikahan yang diatur (Baca juga: Menemukan Jalan dalam Islam, Langkah Menuju Feminis Pun Surut (3): menikah dengan biaya hanya 5 dolar). Itu tidak berarti saya dipaksa untuk menikah oleh pelamar pilihan ayah, seperti cerita Jasmine dalam “Aladdin.” Ayah bahkan tidak menyodorkan apa pun.
Ketika saya masuk Islam, itu bukan waktu yang tepat untuk menjadi seorang Muslim. Merasa terisolasi, terasing, dan ditolak oleh masyarakat sendiri mendorong saya untuk membangun kehidupan keluarga. Bahkan sebelum masuk Islam, saya selalu ingin menjalin hubungan yang serius. Hanya saja pada beberapa pria, saya tidak melihat ada ke arah sana.
Sebagai seorang Muslim yang baru, saya merasa berkesempatan untuk mendapatkan rasa cinta dan hubungan yang seumur hidup. Saya memutuskan, jika saya ingin hubungan yang serius, saya mesti menemukan seseorang yang serius pula. Saya ingin perjodohan.
Saya membuat daftar “30 keinginan”. Saya kemudian mencari. Saya menanyai. Saya mengecek teman-teman dan keluarga yang bisa menjadi prospek.
Saya memutuskan, saya ingin menikah dengan seseorang yang juga masuk Islam. Saya menginginkan seseorang itu sebagaimana diri saya, yang menginginkan mencari sebagaimana saya ingin mencari. Bersyukur kepada orang tua teman-teman saya, saya menemukan seseorang yang sekarang menjadi suami saya, seseorang yang masuk Islam. Ia dari Alabama, dua jam dari rumah saya di New Orleans. Dua belas tahun kemudian, kami masih hidup bahagia.
Tidak setiap Muslim mencari jodoh dengan cara ini, dan saya juga tidak selalu berpedoman dengan cara itu. Tapi saya senang Islam memberiku pilihan ini.
Hidup dalam Kondisi Setelah 11/9
Saya tidak pernah menyerah dengan kepribadian, identitas atau budaya untuk menjadi seorang Muslim Amerika. Saya pernah, pada waktu itu, mendapat gangguan pada rasa kehormatan saya.
Saya diludahi, dilempari telur, dan diumpat oleh seseorang dari dalam mobil yang lewat. Dan saya merasa ketakutan ketika masjid yang saya hadiri di Savannah, Georgia, ditembaki, kemudian dibakar.
Pada bulan Agustus 2012, saya pindah kembali ke New Orleans, yang memiliki norma berbeda. Saya akhirnya merasa aman –untuk sementara waktu. Tapi sekarang, dengan liputan berita terus menerus terhadap kelompok tidak-Islami yang dikenal dengan ISIS, membuat saya mengalami banyak perlakuan sama sebagaimana saya terima di kota-kota lain. Dan sekarang saya kembali merasa kurang aman dibanding sebelumnya.
Ini memancing kejengkelan saya terhadap beberapa orang yang menyebut diri mereka Muslim, yang mendistorsi dan penyalahgunaan Islam untuk keuntungan politik.
Beratnya pada saya, jutaan warga di negara saya melihat kondisi itu sebagai gambaran dari agama saya. Hal ini yang membuat saya tak tertahankan. Mereka bersemangat membenci keyakinan saya, sementara mereka sendiri tidak tahu bagaimana sebenarnya keyakinan saya itu.
Dalam perjalanan saya menuju Islam, saya belajar memahami bahwa Muslim berasal dalam berbagai bentuk, ukuran, sikap, etnis, budaya, dan kebangsaan. Saya memahami Islam mengajarkan perbedaan, tetapi tidak menyebabkan pertentangan, karena kebanyakan Muslim menginginkan perdamaian.
Marilah kita semua, bersama keyakinan yang saya miliki, sesama warga Amerika dapat membuang rasa ketakutan dan kebencian, serta mencoba untuk saling memahami.*/ Tulisan ini ditulis oleh Theresa Corbin dan dimuat pada laman CNN belum lama ini. Corbin seorang penulis yang tinggal di New Orleans, Amerika Serikat. Dia pendiri Islamwich dan kontributor On Islam.