Hidayatullah.com | Kuliah dengan seabrek tugas dan kegiatan itu biasa. Namanya mahasiswa memang identik dengan padatnya kegiatan dan tumpukan makalah. Nah, bagaimana jika yang banyak itu juga disisipi dengan ekstra kewajiban menghafal? Inilah setidaknya yang kurasakan beberapa tahun terakhir. Tepatnya saat memutuskan kuliah di pinggir kota Balikpapan, Kalimantan Timur, yang berbasis lingkungan pesantren.
Di kampus yang jurusannya ilmu Syariah itu, hafalan al-Qur’an menjadi satu mata kuliah yang paling menantang di mata mahasiswa. Beratnya perjuangan untuk melewati tantangan itu terkadang bikin mahasiswa jatuh mental sebelum bertanding. Namaya biasa disebut mukammal. Yakni mahasiswa menyetor hafalan al-Qur’an sekali duduk sebanyak sepuluh lembar atau satu juz sekaligus. Kewajiban ini bersifat fardhu ain (mutlak) bagi mahasiswa siapa saja.
Berbeda dengan mata kuliah lainnya, konsekuensi mukammal pun tidak tanggung-tanggung. Bagi yang tidak lulus mukammal berarti ia harus menerima dua opsi saja. Suka tidak suka. Pertama, tidak naik semester atau tidak mengikuti ujian akhir semester. Ia wajib mengulang belajar selama satu tahun lagi alias turun semester.
Kedua, jika tidak mau mengulang, berarti ia memilih tugas dini selama satu tahun. Semacam menjalani masa rehabilitasi dan dikarantina di lokasi lain di luar kampus. Bagi mahasiswa, secara normal, tentu tak ada yang suka turun semester. Sebab itu bermakna ketinggalan dari kawan-kawan seangkatan sebelumnya.
Waktu itu semester genap tersisa tiga bulan lagi. Bukan waktu longgar dengan tumpukan kegiatan mahasiswa selama ini. Baik di kampus ataupun asrama. Butuh fokus tingkat tinggi. Meski diakui itu tidak segampang membalik telapak tangan begitu saja. Semua rasa dan pikiran terlanjur beraduk. Nyaris tak mampu berpikir jernih kembali. Mengadu, iya mengadu dengan orangtua itulah keinginan saya pada saat itu. Bermodal nekat, aku memberanikan diri meminjam handphone pengurus Dewan Mahasiswa.
Tak menunggu lama, terdengar jawaban salam dari seberang. Baru sekadar basa basi tanya kabar di rumah, air mataku langsung meleleh.
“Ada apa sayang?” tanya mama dengan nada khawatir. Aku hanya diam tak mampu berkata-kata. Seolah ada yang menyumbat di tenggorokan. Berulang-ulang ditanya, aku tetap memilih diam. Tak lama terdengar ayah gantian berbicara. “Hallo, Nak, jangan menangis dulu. Ceritakan saja masalahnya,” bujuk ayah.
Segera kuceritakan semua duka yang kurasakan. Hampir tidak ada kabar gembira yang kusebut. Terakhir, agak memaksa, aku berterus terang minta segera dijemput pulang ke rumah.
Sayang, semua yang panjang lebar dan permintaan khusus itu justru ditanggapi datar saja oleh ayah.
“Seperti itulah penuntut ilmu, perlu perjuangan dan pengorbanan. Jangan lupa minta kemudahan selalu kepada Allah,” balas ayah menasihati. “Ayah dan mama selalu mendoakan kamu di sana. Jadi harus semangat belajar, Nak,” lanjutnya sekalian menutup pembicaraan.
Jelang maghrib, waktu persiapan shalat wajib berjamaah.
“Eh dari mana? Kenapa matanya bengkak?” tanya teman yang papasan di jalan.
“Kayak tidak ada kehidupan saja,” canda dia polos.
Ah, aku tidak peduli dengan semua ocehan penghuni asrama. Jelasnya sejak tadi air mata ini menganak sungai. Mungkin gara-gara itu, kedua mataku terlihat bengkak oleh mereka. Kalau diperhatikan lagi, entah seperti apa wajahku saat itu yang kumal dengan pakaian yang sengaja kubiarkan kusut masai.
Usai maghrib, aku melipir ke pojok mushalla. Mengangkat tangan dan bedoa kepada Allah. Berharap ada petunjuk dan kemudahan dari-Nya, Sang Maha Pengatur segala urusan. Ajaib, tak butuh lama ada getar kedamaian yang kurasa. Terus terang, suasana pengalaman ruhani seperti ini jarang bisa kunikmati sebelumnya. Doa-doa itu mengalir. Ada kepasrahan yang tulus. Namun di balik itu terselip tekad kuat. Aku harus berusaha sekuat tenaga, untuk mengejar ketinggalan setoran hafalan yang ada. “Orang sukses itu pasti kuat berusaha,” pesan ayah tiba-tiba teringat kembali.
Alhamdulillah, akhirnya waktu yang ditunggu tiba. Satu masa yang menegangkan bagi setiap mahasiswa. Apalagi kalau terjadwal ketemu dosen yang teliti menyimak hafalan al-Qur’an.
Sambil berjalan menuju ruang ujian, lidahku terus komat kamit, antara mengulang hafalan dan menyelipkan doa-doa yang kuanggap pamungkas selama ini. Singkat kata, kurang satu jam berada di ruangan bersama penguji, akhirnya aku dinyatakan lulus mukammal. Yakni berhasil menghafal satu juz al-Qur’an dalam satu setoran sekaligus. Alhamdulillah!
Bagi yang terbiasa menghafal al-Qur’an, lolos dari mukammal mungkin peristiwa biasa, layaknya sebuah rutinitas harian bagi seorang penghafal.
Namun, bagiku, yang baru kali ini merasakan suasana pesantren dan hidup berasrama, bagiku yang baru saja belajar menikmati bacaan al-Qur’an, sungguh mampu menyetor hafalan satu juz sekali duduk adalah peristiwa luar biasa. Benar-benar satu hidayah dan karunia dari Allah semata. Allahu Akbar.* Diceritakan oleh Anita, mahasiswi di Balikpapan, Kalimantan Timur