Hidayatullah.com | Semasa di Madrasah Tsanawiyah dulu, ayah pernah cerita perihal saudara dan teman-temannya. Keluarga ayah bisa dibilang rata-rata memiliki karir yang menjanjikan, pekerjaan tetap, dan mapan secara finansial.
Saudara ayah, ada yang menjadi dokter, dosen, hingga konsultan sejumlah perusahaan di Timur Tengah. Begitu pula teman-temannya di masa muda dulu. Ada yang menjadi menteri, rektor universitas terkemuka, dan beberapa orang jadi dekan perguruan tinggi. Ada juga junior masa kuliahnya yang nyeleneh jadi tokoh liberal. Intinya mereka orang-orang yang mudah dikenal di publik.
Di sela ayah bercerita, ibunda biasa bercanda, “Kalau ayah masih melanjutkan kariernya di IAIN Makassar (sekarang berubah jadi UIN Alauddin Makassar), mungkin kalian sekarang jadi anak-anak rektor.”
Guyonan ini langsung disambut tawa tergelak oleh kami, anak-anaknya. “Begitu ya, Bun?” Aku sendiri langsung membayangkan fasilitas macam-macam saat itu.
Sejak itu, pikiran ABG-ku kerap mengkritisi keputusan ayah hijrah dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Menyayangkan betapa kami bisa mendapatkan pendidikan “lebih layak”. Bukan “terkungkung” dalam kehidupan pondok pesantren. Itupun letaknya di ujung timur Balikpapan. Sejarak 33 kilometer dari pusat kota. Tepatnya, di perbatasan Balikpapan dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Akibatnya, sehari-hari, hidup kami seolah hanya berkisar di areal pondok saja. Terbayang, sekira kami bisa menikmati kemapanan ekonomi, layaknya keluarga ayah yang lain. Tentu tidak perlu bersusah-payah pergi sekolah sambil jualan kue dan es setiap hari, sekadar mendapatkan uang jajan. Belum lagi keinginan-keinginan duniawi lainnya, bakal mudah terpenuhi. Demikian pikirku saat itu.
Spontan, di sela protes, aku pernah bertekad di depan ayah dan ibunda. Kelak aku akan melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya. Pokoknya, lebih tinggi dari ayah yang sekadar Sarjana Muda dengan gelar BA. Ingin lebih sukses dan bekerja di luar pesantren. Ingin lebih kaya dan masih banyak lagi keinginan yang kusebut. Seingatku, sejak kecil aku memang punya banyak cita-cita dan impian sukses.
Mendengar itu ayah cuma tersenyum datar. Hingga akhirnya suami dari Bunda Hikmawati itu buka suara. Kalimat itu terngiang hingga sekarang.
“Nak! Ayah dulu jauh-jauh merantau ke sini, tinggalkan kampung halaman sampai tinggalkan pekerjaan dan rumah. Itu demi kalian bisa menikmati tempat yang jauh dari hingar-bingar dunia. Bisa rasakan nikmatnya ber-Islam. Kalau kalian nantinya mau keluar juga dari sini, percumalah semua pengorbanan Ayah.”
Glek! Ibarat anak panah, benda tajam itu tepat menancap di dada. Meski belum paham sepenuhnya aku hanya bisa diam. Tak menyangka ayah sampai berkata begitu.
Hingga seiring waktu, perlahan kusadari, ternyata Ayah telah memutuskan pilihan luar biasa. Nyatanya, tidak mudah memang meninggalkan tanah kelahiran, karir, apalagi kemapanan hidup berupa materi.
Bagi kami, anak-anaknya, ini kesyukuran tak terhingga ditakdirkan tumbuh besar di satu pesantren yang bersahaja. Lingkungan Islamiah, ilmiah, dan alamiah bukan sekadar motto secara teori.
Para lelaki yang wajib shalat berjamaah lima waktu di masjid, wanita yang menutup aurat dengan baik, anak-anak yang terbiasa melantunkan ayat suci Al-Qur’an, dimana-mana orang saling menyapa dengan salam, budaya tolong menolong antar warga, areal yang terpisah antara santri putra dan putri, hingga imbauan yang terus menerus diingatkan, tentang infak, sedekah, shalat lail, taklim, dan halaqah al-Qur’an.
Belum cukup? Baik, kira-kira tempat mana yang sanggup memberikan lingkungan Islami sekaligus sehat secara gratis? Bebas asap rokok, asri, indah dipandang mata, minim kriminalitas, dan sebagainya. Terkadang, nikmat-nikmat di atas tampak remeh bagi kami, anak-anak yang terlahir di lingkungan itu. Kenapa? Karena sudah terbiasa hidup sehari-hari dengan fakta tersebut. Sehingga tak lagi menyadari bahwa ia adalah anugerah terindah.
Pun demikian denganku. Hingga satu ketika bisa melanjutkan pendidikan di luar daerah. Barulah terasa betapa mahalnya lingkungan cuma-cuma itu. Sungguh ia adalah hadiah dari para orangtua demi suaka generasi. Bahwa aku seringkali menangis hanya karena cadar yang kukenakan. Dilecehkan oleh oknum dosen, diteriaki orang di jalanan, dikatai “ISIS” dan aliran sesat, sampai dipersulit urusan administrasi. Culture shock. Terasing di tempat yang kebanyakan orang terbiasa.
Meski demikian, pesantren ini tentu bukanlah sempurna. Dimana-mana selalu ada kekurangan dan kelebihan. Masih banyak yang perlu dibenahi dan dikoreksi. Tak sedikit yang kadang disayangkan. Namun selama kesabaran dan kesyukuran menjadi kunci, akan ada rasa tanggung jawab dan pengertian terhadap segala perubahan dan kekurangan. Toh selama ini kami masih menikmati fasilitas turunan dari pendahulu. Belum ada yang bisa kami bangun dan buktikan di hadapan orangtua.
Maka berbahagialah, para titisan pendahulu. Kita terpilih lahir di tempat pengasingan ini. Ditakdirkan menjadi orang asing dari hiruk pikuk dunia. Asing dari pergaulan bebas. Asing dari kemaksiatan yang merajalela.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut,” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Ad-Darimi, dinyatakan shahih oleh Syeikh al-Albani).* Ema Nahdhah/Santriwati