SAAT itu aku masih duduk di bangku sekolah kelas 1 madrasah aliyah. Suatu hari ada seorang guru yang datang kepadaku dan menyuruh agar ikut dalam suatu perlombaan yang diadakan Kementerian Agama Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sudah menjadi hal yang lumrah dan sering terjadi di setiap pondok, jika ada perlombaan guna mengasah kemampuan para santri. Tapi berbeda denganku yang belum pernah mengikuti perlombaan sama sekali, sehingga muncul gejolak dalam diriku untuk menolak atau menerima tawaran itu.
Tapi kembali terbesit dalam benakku, “Apa salahnya jika aku mencobanya toh ini hanya perlombaan”. Pada akhirnya aku menerima tawaran untuk ikut lomba kaligrafi se-Kota Balikpapan itu.
Perlombaan itu mendadak sekali. Hari ini kita diberitahu, besok pagi sudah berangkat ke tempat lomba. Akhirnya aku dan teman-temanku yang ikut lomba kaligrafi kalang kabut kesana kemari mencari cat air dan sebagainya. Kami disuruh membawa alat-alatnya sendiri dan teks kaligrafinya sudah ditentukan. Saat itu aku mendapatkan teks “atthohuru syatrul iman”,kalimat yang pendek, tapi yang menjadi masalah aku belum pernah melukis dengan cat air, sedangkan itu adalah salah satu syaratnya.
Tapi aku tidak putus asa. Sehingga aku meminta kepada temanku yang sudah berpengalaman untuk mengajariku. Yah, walaupun hasilnya sama saja berapa kalipun aku mencoba, kurang memuaskan, bahkan bisa dibilang buatanku yang paling jelek di antara temanku yang ikut lomba.
Sore harinya aku pulang ke rumah setelah seharian fokus belajar melukis untuk perlombaan besok paginya. Sesampainya di rumah, aku memberitahukan tentang perlombaan tersebut kepada kedua orangtuaku. Akun menunjukkan kaligrafi yang sudah kubuat kepadanya. Tetapi beliau kurang puas dengan kaligrafiku.
Abiku pun memperlihatkan contoh kaligrafi dalam internet, dan beliau menyuruhku untuk memilih salah satu yang paling mudah di antara gambar tersebut.
Akupun memilih kaligrafi Arab yang berbentuk salah satu karakter dan latarnya berwarna biru muda. Aku mencobanya dan menyesuaikan dengan teks yang kudapat, sambil beliau mengajarkan cara menipiskan warna agar terlihat bagus.
Aku terus berlatih hingga larut malam. Keesookan harinya sebelum berangkat lomba, aku meminta doa kepada orangtuaku. Dan inilah kata-kata Abiku yang masih teringat dalam benakku sampai sekarang.
”Abi doakan kamu pasti dapat juara1, ehh jangan juara 1 terlalu mencolok, juara 2 aja,” ujar beliau dengan mantap.
Setelah itu aku berangkat ke acara perlombaan. Sebelum perlombaan dimulai, ada yang berbeda dari informasi yang kami dapatkan. Pasalnya kami diminta mengambil kertas undian yang berisi teks yang akan ditulis.
Aku sangat bingung ketika mendapatkan teks yang berbeda dari yang pernah kulatih sebelumnya, karena otomatis aku harus menyesuaikan teks itu dengan bentuk kaligrafi yang sudah kupelajari di rumah. Pun, kertas kartonnya yang diberikan berukuran besar, alat-alat ku juga sederhana sekali.
Setelah kurang lebih lima jam aku berjuang membuat kaligrafi dalam lomba itu, Alhamdulillah akhirnya kelar. Sikap optimistis aku pupuk untuk memenangkan perlombaan. Meskipun sejatinya merasa sedikit minder ketika melihat kaligrafi karya peserta yang lainnya terlihat sangat bagus.
Tiga hari setelah perlombaan, ketika aku sedang duduk di teras asrama. Tiba-tiba ustadz yang tempo hari memintaku ikut lomba datang menghampiri. Menyodorkan sebuah kertas sembari berkata
“Antum (kamu) dapat juara 2 lomba kaligrafi. Ditingkatkan lagi ya kemampuannya,” pesan beliau.
Dug… sempat tidak percaya mendengar berita itu. Tapi setelah kertas itu aku buka, ternyata sebuah sertifikat yang menyatakan saya sebagai juara 2 lomba kaligrafi. Alhamdulillah.
Sungguh sempat tidak percaya atas apa yang terjadi. Bagaimana aku yang berstatus pemula ini bisa menang. Tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Abiku beberapa hari yang lalu yang mendoakan aku keluar sebagai juara 2.
Poin yang ingin aku sampaikan di sini, persis nasihat seorang ustadz di pondok.
“Ingat, di balik kesuksesan yang kau raih, ada andil yang besar dari doa kedua orangtuamu!”
Jadi, sebagai anak, ayo kita hormati orangtua. Muliakan mereka. Dan mintalah selalu doa dari keduanya. Karena doa orangtua, khususnya ibu, untuk anak itu makbul. Tak ada hijab. Wallahu ‘alamu bish-shawab.* Habibullah/Anggota PENA Gresik