CERITA ini masih soal jodoh dan teka-teki gelap di sebaliknya. Kejadiannya sudah lama. Sekitar lima belas tahun silam. Menulisnya sekadar untuk mengenangnya. Syukur kalau ada manfaat yang bisa didapat.
“Darimana saja selama ini? Lama kehilangan kontak. Tidak ada kabar. Baru ketemu lagi sekarang,” Bapak itu tampak gembira melihat siapa yang bertamu ke rumahnya.
“MasyaAllah. Kabar baik, Pak. Sekarang masih bolak-balik Jakarta-Makassar, Sulawesi Selatan. Kuliah di Jakarta. Libur baru ke Makassar. Memang sudah lama tidak silaturahim ke Balikpapan,” jawab yang ditanya ikut merasa bahagia.
Terus terang. Dengannya, tak ada hubungan keluarga atau tautan darah sebagai kerabat. Dulu ketika tinggal di pesantren, saya sebagai santri yang belajar sedang dia guru pesantren, lulusan universitas negeri terkenal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
“Jadi begini, saya mau menjalin silaturahim lebih dekat, lebih akrab lagi. Ada adik ipar saya yang akan dinikahkan segera.”
Baca: Menikah, Ditolong Allah
Usai basa-basi di awal percakapan, Bapak itu seperti hendak langsung tancap gas. Kira-kira ini masuk persneling (roda gigi) dua. Siap-siap melaju lebih kencang.
“Maksudnya bagaimana, Pak?” Biar tidak kelihatan GR, saya menahan diri. Bertanya dengan nada datar saja. Not fast respon.
“Iya. Jadi bagaimana kalau kamu saja yang menikahi adiknya istri itu. Tidak perlu ta’aruf lagi. Saya jaminannya.”
Glek! Sungguh. Hari itu rasanya tidak pernah makan buah Kedondong, apalagi bijinya yang berakar. Tapi seperti ada yang tercekat di kerongkongan. Pesan itu terdengar jelas di telinga. Disuruh me-ni-kah.
“Kenapa mesti saya, Pak?” Saya berusaha bertahan. Setidaknya agar tubuh ini tidak melayang di hadapan tuan guru yang begitu saya hormati.
“Entah kenapa, kalau ada apa-apa, saya selalu ingat dua orang. Kakakmu itu teman saya. Kamu sendiri santri saya. Termasuk urusan menikah ini,” jelasnya mulai memanjang dan melebar.
Kuasa Allah. Siang itu sebelum ke rumah bapak tadi, saya menyengaja bersilaturahim ke rumah beberapa guru dan ustadz. Mereka adalah orang-orang yang layak dimintai doa. Jasa dan ketulusan mereka sudah terbukti. Tak perlu disoal lagi.
Iya. Usai pernikahan yang berumur belum genap sepekan, saya memang butuh dikuatkan dengan sokongan beribu-ribu doa.
Untuk itu dari rumah ke rumah, saya datang mengetuk pintu, termasuk rumah bapak tadi. Berharap mereka sudi menghadiri acara syukuran sederhana yang digelar di kediaman mertua di Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Lho. Jadi kamu sudah menikah ya?” Kali ini bapak itu tampak tertawa lepas. Seperti ada yang konyol menurut dia.
“Iya. Ini sebenarnya mau mengundang Bapak di acara syukuran pernikahan nanti. Tapi sampai di sini justru ditawari nikah lagi,” jawab saya tersenyum, hehehe….* Diceritakan oleh M Suyuti, santri asal Sulawesi Selatan