SUATU sore. Selepas ashar, langit mulai berawan. Tanda akan turun hujan.
Semakin lama, mendung semakin pekat. Istri yang semulanya hendak ke pasar, saya cegah.
Curiga, akan terjadi hujan lebat sekali. Jarak tempat tinggal dengan pasar, lumayan jauh.
Naik sepeda motor lagi. Melewati jalur utama yang banyak kendaraan super besar. Terlalu beresiko.
Benar saja. Menjelang buka puasa, hujan mulai turun. Deras sekali. Diselingi hembusan angin kencang.
Gesekan-gesekan daun dan dahan dari hutan jati di belakang rumah, terdengar jelas.
Tidak hanya itu. Saya, istri, keponakan, berjibaku untuk menahan air masuk ke rumah. Baik itu yang berasal dari lubang bawah pintu depan, ventilasi, dan juga pelapon bagian tengah-tengah.
Yah. Kami seperti diserang air dari segala arah. Bawah, samping, dan atas. Untungnya bisa mengendalikan.
Semakin lama, hujan semakin lebat. Angin pun tak mau kalah. Tak hanya itu. Kini diselingi guntur yang menggelegar, dan kilat terus menyambar.
Selesai menunaikan shalat maghrib, semua kami berkumpul di ruang tengah. Karena dua kamar pada basah. Terkena cipratan air.
Anak-anak saya minta untuk bersama-sama berdoa. Agar Allah berikan keberkahan di balik hujan. Alhamdulillah, mereka semua sudah hafal doa turun hujan.
“Allahumma shoyyiban naafi’an (Ya Allah, jadikanlah hujan ini hujan yang membawa manfaat).”
Tak lama berselang.
Pyet!
Listrik mati. Gelap gulita. Tak ada setitik pun cahaya. Semua lini terlihat pekat.
Syukurnya, saya ingat betul posisi HP. Langsung saya sambar. Hidupkan senter. Alhamdulillah ada pencahayaan. Meski tak seberapa terang.
Entah pukul berapa, saya hendak melaksanakan shalat isya. Anak-anak sudah pada tidur. Apalagi yang nomor dua. Sebelum maghrib malah.
Yah, mungkin lelah. Seharian bermain. Apalagi, bangunnya sebelum shubuh.
Nah. Di waktu melewati posisi anak-anak itu, saya dapati ada seekor binatang kecil. Mendekati putri saya ke dua. Jaraknya tinggal beberapa centimeter.
Setelah saya perhatikan secara seksama;
Innaa lillah…
Itu kalajengking. Secepat kilat saya sambar bantal, dan menjauhkan scorpion itu dari anak-anak. Beberapa kali saya pukulkan dengan bantal, ternyata makhluk berbisa itu tidak mati.
Sampai akhirnya, saya mendapati tutup baskom. Saya ambil, lalu memukulkannya ke kalajengking beberapa kali.
Tok…tok…tok….
Istri yang tidak tahu persoalan, langsung mendekat.
“Ada apa?” selidiknya.
“Ini tadi ada kalajengking. Sudah dekat adik. Alhamdulillah, Allah masih menyelamatkan,” tutur saya.
Jam 12 malam saya terbangun. Sebabnya, putri kedua terbangun. Saya tenangkan dia.
Hujan sudah mulai reda. Tapi lampu masih padam.
“Mau tidur di kamarkah?” ujar saya menawarkan kepada putri. Sebab Ia terus merengek.
Ternyata benar. Ia memang ingin pindah. Akhirnya saya bimbing ia ke tempat tidur.
Setelah menata dan membersihkan tempat tidur, putri tadi itu langsung ambil posisi. Tak lama, ia pun kembali tertidur pulas.
Giliran saya mengatur posisi, agar juga cepat tidur. Tapi, belumlah terlelap, saya rasakan ada sesuatu jalan di lengan.
Saya langsung terperanjat. Dan…
Inaaa lillah…
Kalajengking lagi. Alhamdulillah-nya, binatang beracun itu langsung loncat dari lengan. Saya pun langsung mengambil benda apapun yang terdekat. Ada buku. Dan langsung memukul-mukulkannya ke kalajengking sampai mati.
Perlu diketahui. Kami berdomisili di kampus/pesantren, yang berlokasi di atas gunung kapur.
Sudah menjadi maklum adanya, kalau musim hujan datang, binatang-binatang beracun, seperti kalajengkung dan lipan, turut keluar sarang mencari tempat aman.
Tak ayal. Rumah warga dan asrama santri acap dimasuki.
Entah sudah berapa kali, mahasantri yang harus dilarikan ke puskesmas, karena disengat oleh binatang-binatang itu.
Syukurnya, kejadian di tengah malam itu menjadi ‘teror’ terakhir. Sampai dini hari, ketika bangun untuk melaksanakan sahur, tidak ada lagi gangguan-gangguan serupa.
Tapi, ketika matahari telah menyapa penduduk bumi. Kembali saya terbelalak. Terdecak kagum dengan perlindungan Allah sepanjang malam itu.
Hal itu bermula, dari informasi istri, yang tengah bersih-bersih di bagian dapur.
“Ternyata dahan pohon jati samping rumah patah semalam,” ujar istri memberi tahu.
“Iya tah!” respons saya dengan nada kaget.
Betapa tidak. Pohon jati itu cukup besar. Berada pas di posisi sebelah timur rumah. Jaraknya dua meteran dari dinding rumah.
Jujur. Ketika angin berhembus kencang. Pohon itu menjadi salah satu yang dikhawatirkan roboh.
Sebab kalau itu terjadi (na’udzubillahi min dzalik). Jelas akan mengenai rumah. Dan bisa ditebak akibatnya.
Alhamdulillah itu tidak terjadi. Dan semoga tidak akan pernah terjadi.
Ketika saya coba pergi ke sampung rumah untuk mengecek keadaan. Ternyata yang patah, pas bagian dahan yang posisinya ke sebelah rumah.
Dahan itu lumayan besar. Banyak ranting. Lebat pula daun dan buahnya.
Jatuhnya mengarah ke selatan. Sejajar dengan posisi dinding rumah. Jadi, sama sekali tidak mengenai bagian rumah. Alhamdulillah.
Tak henti-henti mengucapkan rasya syukur kepada Allah. Yang telah memberikan keselamatan malam itu. Dari dua kalajengking, dan runtuhan dahan pohon jati.
Sungguh ini semua berkat pertolongan Allah. Karena Allah mengatur segala sesuatu. Bila berkehendak; Dia hanya tinggal mengucapkan ‘jadi!’ maka jadilah.
Pelajaran lain yang saya petik; pentingnya memperbanyak doa. Sebab doa adalah senjata orang-orang beriman.
Lebih-lebih pada waktu Ramadhan ini. Pada menjelang berbuka puasa, atau seperempat malam. Itu adalah waktu-waktu mustajabah.
Jadi mari, kita gunakan kesempatan untuk munajat kepada Allah. Termasuk terus memohon, agar bersegera mengangkat pandemi corona, yang tengah melanda dunia ini.* Khairul Hibri