MALAM Jumat, tepat pukul 11:00 WIB kami tiba di Kampung Simpang, Desa Sukamanah. Menempuh perjalanan darat sejak sore, barulah kami bisa bernafas lega setelah sekitar tujuh jam melintasi ratusan kilometer rute Jakarta – Banten yang melelahkan.
Diawali macetnya Jalan Tol Dalam Kota Jakarta mulai Cawang hingga Semanggi, lalu jalan tol sepanjang Tangerang – Serang yang saat itu dalam perbaikan di beberapa ruasnya –di sini mobil yang kami tumpangi sempat bermasalah bannya–, sehingga terasa jauh jarak dari Serang ke Malingping. Apalagi saat melintasi rute Pandeglang – Malingping, selain sempit, jalannya juga meliuk-liuk. Salah seorang rekan kami tak mampu menahan mabuk daratnya. Dia muntah saat mendekati Kecamatan Malingping, Kabupaten Lebak.
Di Kampung Simpang, kami disambut senyum ramah Ustadz Nurkib Ibnu Djaiz di rumah sederhananya. Selain menyuguhkan penganan ringan, tuan rumah juga menawarkan kami makan malam. Sebelum makan, kami bakar ikan dulu di pekarangan rumahnya. Di rumah Ustadz Nurkib, kami baru tidur setelah masuk waktu Jumat (28/09/2012) dinihari.
Tim kami terdiri dari lima orang; tiga dari Yayasan Wakaf Al-Qur’an Suara Hidayatullah (YWASH), dua lainnya dari redaksi Kelompok Media Hidayatullah (KMH). YWASH diwakili Muhammad Azmi (merangkap supir), Mamik Hidayat, dan Muryanto. Sedangkan dari KMH ada Ahmad Damanik (reporter, juga merangkap supir) dan Muh. Abdus Syakur (fotografer). Ahmad Damanik sekaligus sebagai guide. Di antara kami, dia yang paling paham rute.
Paginya, usai shalat subuh berjamaah di masjid terdekat, kami ber-tadabbur alam sejenak di Pantai Bagedur. Jaraknya cukup dekat, hanya 20 menit-an berjalan kaki dari rumah Ustadz Nurkib. Pantai ini tergolong bersih, tapi sepi dari kunjungan wisatawan. Pagi itu, ombak di kawasan Pantai Selatan ini cukup besar.
Mual-mual
Pukul 07:00 WIB, kami bergegas menuju Kecamatan Cirinten, dipandu Ustadz Nurkib yang mengendarai sepeda motor. Di sepanjang jalan, yang juga kami lalui semalam ini, penulis merasakan mual-mual di perut. Entah karena jalannya yang memang naik turun gunung dan berkelok-kelok atau kondisi perut yang lagi tidak stabil. Di atas mobil milik kantor yang kami tumpangi, penulis kerap meringis menahan muntah.
“Kamu sih sambil BBM-an,” rekan saya mengingatkan.
Sejak dari Jakarta, sebagian waktu memang penulis habiskan dengan menulis berita dan online melalui smartphone. Menurut sebagian orang, fokus pada suatu benda saat di atas mobil, seperti membaca dan bermain ponsel, dapat menyebabkan mabuk darat. Penulis baru kali ini kembali mengalami mabuk darat, setelah terakhir dalam perjalanan Bontang – Balikpapan puluhan tahun silam. Demi menghilangkan rasa mual di perut, penulis mengalihkan perhatian ke luar mobil.
Pemandangan di kanan-kiri sangat memanjakan mata. Pepohonan nan hijau, perkampungan penduduk dan petak-petak sawah yang letaknya berpencar-pencar. Yang agak mengherankan, walau musim kemarau masih melanda Pulau Jawa, di daerah sepanjang Malingping – Cirinten ini sebagian sawahnya masih hijau-hijau. Padahal di beberapa tempat lainnya yang kami jumpai, banyak sawah yang kering kerontang. Pemandangan yang jarang kami dapati di Jakarta tersebut cukup menghibur. Tapi perut ini masih terasa mual.
Penulis pun berinisiatif meneruskan bacaan al-Qur’an yang sempat tertunda. Setelah membaca Surat Yusuf ayat 44-52, mual-mual di perut perlahan menghilang.
“Alhamdulillah!”
Ratusan Al-Qur’an di Batas Baduy
Tujuan utama kami ke Banten adalah berdakwah dengan menebar al-Qur’an. Tim KMH menemani Tim YWASH dalam program Wakaf 1 Juta Al-Qur’an. Dari Jakarta, kami membawa 250 eksemplar al-Qur’an. Salah satu titik penyebarannya kali ini di Kampung Cikahir, Desa Nangerang, Kecamatan Cirinten.
Setelah sekitar satu jam dari Malingping, barulah kami tiba di jalan masuk ke Kampung Cikahir. Untuk menuju ke kampung tersebut, kami harus melewati jalan kecil sekitar 10 KM dari jalan raya. Di Malingping, kami telah menyerahkan sejumlah al-Qur’an.
Jalan masuk ke Cikahir cukup merepotkan mobil kami. Selain jalannya sempit, bagian yang diaspal pun hanya di ruas awal jalanan. Selebihnya, tanah kuning bebatuan yang membelah kawasan hutan berbukit-bukit itu. Di pertengahan jalan, kami terhalang portal kayu. Untuk membukanya, Ustadz Nurkib harus meminta izin dulu ke pihak berwenang di kampung tersebut.
Dua puluh menit kemudian, barulah kami tiba di Kampung Cikahir, tepatnya di depan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Fitroh. Di gedung kayu itulah, YWASH menyerahkan 154 eksemplar al-Qur’an untuk masyarakat sekitar.
Bangunan MI Al-Fitroh sendiri cukup memprihatinkan. Atapnya bolong-bolong, catnya kusam. Dari empat lokal yang dimiliki –tiga ruang belajar dan satu ruang guru– pihak sekolah terpaksa menyekat tiap ruang belajar menjadi dua bagian, agar bisa digunakan hampir ratusan murid dari kelas I-VI MI. Sekat dalam tiap lokal tersebut pun hanya berupa rangka kayu tanpa tripleks atau papan.
Tidak jauh dari Cikahir merupakan perbatasan Tanah Adat Baduy Dalam. Baduy Dalam merupakan salah satu suku di Banten yang masih memegang erat tradisi nenek moyang mereka. Salah satunya, di tempat tersebut dilarang menggunakan kendaraan. Suku Baduy hidup berkelompok-kelompok, menyebar di berbagai wilayah hutan dan pegunungan Banten. Penulis pernah berkunjung ke salah satu Kampung Baduy Dalam di wilayah Leuwidamar, Lebak, pada November 2011 lalu.
Menurut Ustadz Nurkib yang juga Kepala MI Al-Fitroh, semua penduduk Cikahir beragama Islam. Penghasilan utama mereka dari menganyam boboko (wadah nasi khas Sunda) dan bertani.
Masyarakat setempat sangat antusias menyambut kedatangan kami. Saat acara berlangsung, puluhan tokoh dan warga Cikahir berjubel di salah satu lokal MI Al-Fitroh, seperti menunggu pembagian sembako. Pakaian mereka begitu sederhana, kecuali guru-guru madrasah yang berseragam batik. Perempuan dan laki-laki ditempatkan terpisah. Saat itu kegiatan sekolah dihentikan sementara. Kami terharu atas apresiasi mereka.
“Pemberian al-Qur’an ini juga adalah salah satu bentuk dukungan semangat dari kami agar, yuk, sama-sama kita belajar berislam dengan baik,” kata Ahmad Damanik di depan hadirin, dalam sambutannya mewakili kami.
Pada kesempatan itu, Ustadz Nurkib menyampaikan wejangan agar masyarakat benar-benar memanfaatkan al-Qur’an wakaf tersebut untuk mendalami agama.
“(al-Qur’an) jangan hanya disimpan di atas rak,” pesan dai pembina Cikahir itu dalam bahasa Sunda, yang diterjemahkan Ahmad Damanik kepada penulis.
Selepas sambutan dan serah-terima secara simbolis, ratusan al-Qur’an kami bagi-bagikan kepada para hadirin. Di antaranya ada yang membawa lebih dari satu untuk keluarga mereka yang tidak sempat hadir.
Dihadang…
Setelah kurang lebih tiga jam menyambung silaturrahim dengan warga Cikahir, kami pun undur diri. Sebelum pamitan, kami menyempatkan foto bersama dengan para penerima al-Qur’an dan putra-putri MI Al-Fitroh. Jabatan salam warga dan kecupan tangan generasi muda Cikahir mengiringi perjalanan kami kembali ke Jakarta.
“Hatur nuhun, hatur nuhun,” ujar mereka bergantian mengucapkan terima kasih.
Saat hendak pulang, kami diminta menghadiri jamuan makan siang di rumah seorang warga. Tuan rumah menyajikan menu khas Sunda; nasi liwet, lengkap dengan ikan asin, daun singkong rebus dan sambel uleknya. Luar biasa nikmatnya, apalagi siang itu kami benar-benar lapar.
Agenda berikutnya berkunjung ke Kampung Baduy melalui pintu utama di Ciboleger. Sayangnya, niat tersebut kami urungkan. Tugas utama belum berakhir, kami masih harus menyerahkan sejumlah al-Qur’an wakaf untuk masyarakat Ujung Kulon.
Al-Qur’an itu bukan kami antar ke sana, tapi dijemput oleh dua orang perwakilan masyarakat Ujung Kulon. Kami bertemu mereka di satu universitas negeri di Serang pada sore harinya.
Sebelumnya, ada cerita menarik. Beberapa menit setelah meninggalkan MI Al-Fitroh, di salah satu ruas jalan Kampung Cikahir, tiba-tiba kami dihadang tumpukan pohon yang tergeletak di tanah. Jalanan terblokir, tak bisa dilewati. Penulis sempat mengira ada pohon besar tumbang. Jika demikian, alamat perjalanan pulang kami akan lebih lama.
Ternyata masyarakat setempat sedang kerja bakti. Beberapa pohon dipangkas dan ditebang. Demi menjaga solidaritas, kami berinisiatif turun dari mobil, lalu membantu warga kampung membersihkan potongan-potongan pohon dari jalan. Usai itu baru kami melanjutkan perjalanan pulang.
Beberapa jam kemudian, azan Jumat berkumandang dari corong-corong masjid yang banyak berdiri di tepi jalan. Sebagai musafir, kami singgah shalat jamak qashar di Serang. Sekitar pukul 17:30 WIB, barulah Tim YWASH-KMH tiba kembali ke kantor PT Lentera Jaya Abadi, induk perusahaan kami di bilangan Polonia, Jakarta Timur.
Meski batal ke Kampung Baduy, ada kepuasan tersendiri bagi kami, khususnya penulis karena sudah membantu saudara-saudara seiman di pelosok Banten. Semoga para donatur yang telah mewakafkan al-Qur’annya melalui kami diberi ganjaran pahala berlipat-lipat oleh Allah SWT.*
Untuk foto-foto perjalanan ini, silakan lihat di galeri hidayatullah.com.