MALAM itu, Rabu, 13 September 2017, dokter Saifuddin Hamid meninggalkan Jakarta. Bersama tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ia terbang ke Bangladesh dalam misi menyalurkan bantuan kemanusiaan dari Indonesia kepada pengungsi Rohingya.
Mereka tiba di Bandara Internasional Shah Amanat, Chittagong, Bangladesh, pada Kamis (14/09/2017) siang sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Di Bandara, mereka disambut oleh duta besarnya. Bantuan kemanusiaan yang dibawa itu lalu diserahkan ke pemerintah Bangladesh.
Bantuan itu antara lain berupa tenda, selimut, family kit, paket gizi siap saji, pakaian ibu-ibu, pembalut, dan tanki-tanki air.
Bantuan-bantuan itu kemudian didistribusikan ke Cox’s Bazar, tempat lokasi pengungsian yang jaraknya sekitar 170 kilometer dari Chittagong. Dari bandara, butuh waktu delapan-sembilan jam untuk sampai ke Cox’s Bazar.
Baca: Ini Bantuan yang Dibutuhkan Para Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Namun rupanya, tutur Saifuddin, rombongan BNPB tidak boleh langsung memberikan bantuan ke pengungsi Rohingya.
“Harus melalui pemerintah sana,” ujar Saifuddin di sela-sela kesibukannya mengobati pasien, saat berbincang kepada hidayatullah.com pada Rabu (27/09/2107), di lantai dua klinik Islamic Medical Service (IMS), Jatinegara, Jakarta Timur, selepas shalat maghrib.
Kami berbincang ihwal kondisi pengungsi Rohingya di Bangladesh. Saifuddin baru beberapa hari ini kembali ke Indonesia, setelah menempuh belasan hari dalam rangkaian misi kemanusiaan untuk Rohingya itu.
Dokter Kepala Bidang Emergency IMS ini bertutur. Alasan bantuan BNPB tidak bisa diberikan langsung kepada pengungsi karena pemerintah Bangladesh katanya ingin menjaga keamanan.
Untuk bantuan medis pun, Saifuddin mengaku tidak bisa memeriksa kesehatan pengungsi Rohingya. Sebab itu katanya sudah jadi tanggung jawab palang merah internasional.
Baca: Bantu Rohingya, FPI Sudah Kirim Relawan ke Perbatasan Myanmar-Bangladesh
Meski begitu, Saifuddin tetap mengamati langsung kondisi kepiluan para pengungsi Rohingya di lokasi pengungsian. Ia menyebut ada sekitar ratusan ribu pengungsi di sana.
“Keadaan pengungsi sangat memprihatinkan sekali,” ungkapnya.
Mereka tidak memakai alas kaki. Berpakaian seadanya. Rata-rata buka baju karena bajunya basah setelah menyeberangi sungai. Belum lagi cuaca di Bangladesh yang tidak jelas. Kadang panas, kadang hujan. Dan di lokasi pengungsian becek pula. “Gampang kena sakit, kan (pengungsi,” ucapnya prihatin.
Ia mendengar laporan, ada pengungsi yang sakit saluran pernapasan dan kena penyakit kulit. Bahkan ada yang stres, trauma karena diperkosa. Ibu-ibu kelihatan lari-lari sendiri.
Nahasnya, air di sana juga susah. Pengungsi kalau mau shalat tidak bisa wudhu, tapi tayamum. Airnya payau.
Baca: Punya Ratusan Cabang, Hidayatullah Siap Tampung Anak Anak Rohingya
Kualitas tenda antar pengungsi juga beda-beda. Ada yang tendanya lengkap. Ada yang atapnya pakai plastik atau terpal dan disokong bambu. Tapi tidak beralas. Sehingga becek. Dan bahkan ada yang tidak pakai tenda. Mereka tinggal di pinggir jalan. “Yang banyak yang ada di pinggir jalan,” kata dokter Saifuddin. Kalau truk bantuan sudah tiba, mereka inilah yang antre berebut ambil bantuan.
Bantuan yang mendesak diberikan kepada pengungsi untuk sekarang ini, kata Saifuddin, antara lain makanan, terutama untuk balita dan lansia. Kemudian sanitasi, tenda, makanan, selimut, dan pakaian.
Ia pun berharap, pemerintah Myanmar mau mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya, dan pengungsi Rohingya bisa cepat kembali ke Rakhine, Myanmar. Sebab kondisi di lokasi pengungsian tidak layak.* Andi