SEPASANG roda berputar melindas jalanan beraspal. Di atas tumpuan sepeda motor itu, sang pengemudi membawa santai kendaraannya. Sesekali ia berbicara dengan penumpang di jok belakang. Di situ, saya duduk manis mendengarkan suaranya yang kadang samar terbawa angin.
Pembicaraan santai kami seputar kondisi warga etnis Rohingya di pengungsian Kuala Langsa. Saat itu, usai dua hari meliput di sini, saya butuh suasana yang lebih tenang untuk menuliskan laporan.
Sebenarnya, di pengungsian ada sebuah warung yang biasa kutempati numpang ngantor. Namun kurang kondusif, pengunjungnya terlalu ramai. Pernah ada Kejadian yang Mengecewakan Pengungsi di Warung Ana. Lagipula, jaringan internet di pinggiran laut itu buruk. Padahal, masih kepengen menginap di Kuala Langsa.
Sore di Senin terakhir Mei 2015 itu. Kutinggalkan barak-barak pengungsi dengan berjalan kaki agak tertatih. Selain memang sudah letih, barang bawaanku juga cukup menambah beban; tas kamera pinggang, tas ransel berisi laptop dan pakaian, serta tripod.
Jarak dari barak ke pintu gerbang Pelabuhan Kuala Langsa 150 meter lebih. Sebagian jalannya masih tanah, berdebu jika dilewati kendaraan. Tapi saat itu saya malah berharap ada kendaraan yang melewatinya. Bukan mau terhirup debu, tapi karena ingin menumpang.
Tak Usah Bayar…
Kuala Langsa berbeda dengan pelabuhan di kota-kota lain. Tak ada angkutan umum yang khusus melayani rute dari dan ke pelabuhan ini. Kawasan sejauh sekitar 5 kilometer dari perkotaan ini seakan tak menjanjikan pebisnis transportasi. Supir-supir taxi, angkot, atau tukang ojek memburu penumpang adalah pemandangan yang tak pernah kujumpai di sini.
Tapi saya tetap harus meninggalkan pengungsian untuk sementara. Langkah kaki pun kuseret menuju gerbang pelabuhan. Sambil sesekali menengok ke belakang, siapa tahu ada kendaraan yang lewat.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Belum lama berjalan, di belakangku tampak sebuah sepeda motor mendekat. Pengemudinya seorang pria berwajah oval. Di bagian depan kepalanya tergantung kacamata hitam.
Tanpa ragu, kuhadang sepeda motor buatan Jepang itu dengan tangan kanan. Pengemudinya mengerem.
“Maaf, Bang, bisa numpang nggak?” todongku sesopan mungkin. Ia sejenak memperhatikanku; sesosok asing yang berpenampilan agak lusuh setelah seharian tak mandi.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya ramah. Dari senyumnya, pria itu tampaknya baik. Benar saja. Tak perlu bercakap lama, ia sudah mempersilahkanku naik ke boncengan motornya.
Dalam perjalanan meninggalkan Kuala Langsa, kami banyak berbagi cerita. Ia mengaku bernama Ahdan Lubis, relawan sebuah lembaga zakat di pengungsian. Tenda tempatnya bertugas dekat dengan barak pengungsi Bangladesh. Tak heran jika ia sering mengelu-elukan pendatang gelap tersebut.
“Orang Bangladesh sering dibilang banyak yang Buddha, padahal mereka tuh kebanyakan Islam,” ujar Ahdan.
Warga Langsa ini hendak pulang ke rumahnya. Sementara saya ke penginapan. Kedua tempat itu sama-sama di perkotaan, namun berbeda rute. Meski begitu, ia tetap berkenan mengantarku sampai tujuan.
“Tak usah bayar,” ujarnya, “(cukup) uang rokoklah.”
Padahal saya pun siap membayarnya lebih dari itu. Begitu sampai, kuucapkan terima kasih padanya sambil memberikan uang Rp 20 ribu. Senyumnya mengembang.
“Lain kali kalau ada perlu kontak aja saya,” ujarnya setelah kami bertukar nomor HP. Aceh memang baik, batinku, lalu menyeret langkah ke sebuah bangunan bertingkat.
Suara Roy
Sepasang roda berputar melindas jalanan beraspal. Di atas tumpuan sepeda motor itu, sang pengemudi, Roy, 32 tahun, membawa kendaraannya sambil berkomentar.
Rabu (27/05/2015) itu adalah kali ketiga kutumpangi kendaraan pribadi. Usai liputan seharian di Kuala Langsa, saya memang harus kembali lagi ke penginapan. Mirip cerita dua hari sebelumnya, sore itu saya berdiri di pinggir jalan kawasan pengungsian, menunggu kendaraan apapun yang bisa ditebeng.
Datanglah sepeda motor Honda milik Roy, yang tentu belum kukenal sebelumnya. Begitu mendekat ke arahku, langsung kucegat dengan lambaian tangan.
“Mau ke mana?” tanyanya. Seperti kemarin lusa, kujelaskan arah tujuanku. Sebuah penginapan di Jalan Ahmad Yani, tak jauh dari Masjid Raya Darul Falah dan alun-alun kota Langsa.
“Saya tinggal dekat Polres,” ujarnya lalu mempersilahkanku menumpang.
Dalam perjalanan sekitar 15 menit menembus senja, saya memperkenalkan diri, seperti yang kulakukan kepada Ahdan. Mungkin karena tahu jika saya seorang pewarta, Roy pun menyuarakan aspirasinya soal pengungsi.
Menurut pria berkeluarga ini, warga etnis Rohingya mestinya diberi tempat khusus untuk hidup lebih baik. “Di sini, kan, banyak tempat-tempat kosong. Kasih mereka kerjaan macam berkebun,” ujar pria asli Aceh ini.
Tiba di penginapan, saya berterima kasih atas kebaikan Roy mengantarku. Sebelum mengucapkan salam, kuselipkan uang Rp 15 ribu ke telapak tangannya.
Seketika ia menolak. “Tak usah, tak usah,” ujarnya lantas mengembalikan uang tadi ke tanganku. Saya bersikukuh membalas jasanya. Ia keukeuh menolaknya.
“Saya ikhlas kok,” dalihnya dengan nada yang terdengar penuh ketulusan. Saya mengalah dan membiarkannya berlalu dengan “tangan kosong”. Orang Aceh memang baik, batinku, sambil menyeberang jalan menuju penginapan.
Sebelumnya, Rabu pagi itu, saya juga nebeng saat dari penginapan ke Kuala Langsa. Yang kutumpangi mobil rombongan IHH. Lembaga kemanusiaan asal Turki yang berpartner dengan sebuah lembaga zakat nasional ini membawa banyak kendaraan.
Akibatnya, saya tiba di pengungsian jelang siang, terlambat beberapa jam dari agenda awal. Syukurnya agenda itu adalah meliput kegiatan penyerahan bantuan dari IHH. Meski tak rugi dalam hal ini, tapi saya mesti legowo membatalkan agenda ke Lhokseumawe. Gara-gara nebeng. Yah, namanya gratisan.*/ Bersambung