KISAH-kisah seputar kesan mendalam dari Aksi Simpatik 55 atau Aksi 55 kemarin banyak berserakan dan dirasakan para pelaku aksi tersebut. Termasuk yang diungkapkan oleh mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini.
Wanuzulan, 24 tahun, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA) Makassar ini menceritakan pengalaman pribadinya mengikuti Aksi 55 di Kota Daeng itu.
Awalnya, setelah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI secara resmi mengumumkan akan menggelar Aksi Simpatik 55 di Jakarta, maka Makassar pasti tidak ketinggalan, pikirnya saat itu.
Rupanya prediksinya benar. Malam Jumat kemarin, di suatu tempat seperti biasa digelar taklim rutin oleh salah satu ustadz senior sekaligus Ketua STIBA Makassar.
Baca: Bu Haji Traktir Massa Aksi 55, Penjual Gratiskan Es Krim
Pada taklim itu, hadir berbagai aktivis Islam tingkat Makassar, serta dari luar kota, seperti Gowa, Maros, bahkan dari Bulukumba dan Bantaeng. Di sinilah komando untuk turun Aksi 55 disampaikan setelah taklim tersebut.
“Dan alhamdulillah, ketika komando dari atas sudah turun, maka kita hanya menjalankan perintah tersebut dengan semangat,” ungkap Nuzulan, pria berdarah Bugis asal Sebatik, Kalimantan Utara ini.
Ia pun sudah bersiap-siap. Dengan semangat yang masih terpatri dalam hati, dari Spirit 212 yang terus dipekikkan para ulama dan dai seantero Indonesia. Pagi itu, Jumat (05/05/2017) kemarin, seluruh mahasiswa yang telah diamanahkan untuk turun dalam Aksi 55 mendapat instruksi oleh korlap internal.
“Sudah selesai pelajaran di kelas, semua langsung ke lapangan untuk kumpul dan langsung berangkat ke Masjid Raya Makassar,” ungkapnya dalam obrolan ringan dengan hidayatullah.com. Masjid tersebut merupakan titik kumpul massa Aksi 55 Makassar.
Bersama teman-temannya, Wanuzulan pun berangkat. Awalnya berjalan lancar. Namun, dalam perjalanan ke Masjid Raya, ada sedikit hambatan.
“Mobil pete-pete kami sempat ada masalah kebocoran ban,” ungkapnya. Pete-pete adalah sebutan untuk angkutan kota (angkot) di Makassar.
Beruntung sang supir sigap, langsung mengambil peralatan dan dengan cekatan mengganti ban bocor dengan serepnya. “Kira-kira 10 menitan, ban pun selesai diganti,” ungkapnya. Perjalanan dilanjutkan.
Baca: Aksi 55 di Makassar, Ribuan Massa Tuntut Ahok Dihukum secara Adil
Dalam aksi yang berlangsung dari Masjid Raya hingga ke depan gedung Pengadilan Negeri Makassar itu, Wanuzulan menyaksikan pemandangan menyejukkan.
Aksi menuntut keadilan hukum atas kasus penistaan agama oleh terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini dirasa bukan sebatas aksi unjuk rasa.
Aksi 55 seakan terasa sebagai ajang “reunian”, ajang berbagi, dan ajang kepedulian. Banyak ia saksikan orang-orang dermawan membagi-bagikan makanan dan minuman kepada massa.
“Makanan datang dari para donatur yang tidak dikenal, perorangan, bahkan kelompok ibu-ibu memakai niqab, dan membagi-bagikan minuman juga makanan,” ungkap mahasiswa semester 2 Program Kaderisasi Ulama (PKU) STIBA Makassar atau setara dengan semester 6 syariah ini.
Setahu Wanuzulan, setiap ormas pasti ada yang bertugas membawa makanan untuk jamaahnya. Namun rupanya untuk semua kalangan.
“Saya dapati ibu-ibu sama bapak-bapak memakai (sepeda) motor membawa dua kantong kresek besar, membagi-bagikan nasi bungkus, dan ana (saya) dapat bagian juga, jadi ke pojokan makan,” ujarnya lantas tertawa.
Sebagian orang juga membagi-bagikan pesan soal inti tuntutan dari aksi itu, lewat kertas-kertas bertuliskan, “Tangkap Ahok penista agama!”, “Tegakkan keadilan!”.
Untuk pelepas dahaga, jangan ditanya lagi, ungkapnya. Setiap sudut lokasi aksi ia dapati air minum gratis ditaruh di jalan-jalan dan di tempat-tempat banyak orang berada.
Asyiknya lagi, mereka yang tampaknya tulus berbagi itu tak melihat latar belakang peserta aksi yang berlangsung di bawah komando Forum Persatuan Umat Islam Bersatu (FUIB) Sulsel itu.
Saat longmarch pun, Wanuzulan mengaku di samping kanan-kirinya sudah bukan teman dekatnya lagi, tapi bercampur baur dengan “kawan-kawan baru” sesama umat Islam dari berbagai kelompok. “Kita berjalan bersama dengan damai,” ungkapnya.
Suasana itu ia rasa menyejukkan sanubarinya. “Adem pastinya,” aku pria ramah senyum ini.
Dalam aksi ini, ungkapnya, massa datang dari berbagai elemen masyarakat dan ormas-ormas Islam. Seperti Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), Laskar Pemburu Aliran Sesat, Wahdah Islamiyah, Hidayatullah, HTI, dan lain sebagainya.
Semua itu berbaur dalam satu komando. Wanuzulan pun menggambarkan suasana Aksi 55 itu dalam sebuah kalimat panjang:
“(Ini suatu) keadaan dimana manusia tidak melihat ke atribut orang lain, tapi lebih mengedepankan persatuan umat Islam dan tujuan untuk menegakkan keadilan. Inilah sebenarnya kedamaian.”
Kesimpulannya, Wanuzulan merasakan betul, Aksi Simpatik 55 mampu menyatukan berbagai kelompok umat Islam di bawah satu komando.
“Terasa ukhuwah Islamiyahnya walaupun berbeda ormas,” tutur bujang yang dikenal supel ini mencurahkan kebahagiaannya.*