CAHAYA mentari semakin terang ketika Armada Flixbus yang saya tumpangi melalui jalan tol Kota Paris yang cukup macet. Kiri dan kanan jalan yang berukuran sedang ini dipenuhi pohon-pohon dan warna hijau dedaunan dan rerumputan yang menyerupai jalan tol Jakarta-Merak.
Ketika bus semakin mendekati kota tampak terlihat di kiri jalan, dua cerobong asap besar yang menjulang dan menyemburkan asap putih tebal ke langit diatas kota Paris, berbagai imej ketika memasuki kota mode paling ternama di dunia ini membuat saya teringat dengan kota Jakarta yang terakhir saya kunjungi tiga tahun silam. Beberapa hotel ternama juga dapat terlihat di kiri dan kanan jalan besar menuju kota ini.
Pukul 7.40 pagi akhirnya bus yang saya tumpangi sampai di Halte Bus Polte Maillot. Pada hari Selasa, 10 Mei 2016, Kota fashion ini ditemani oleh rintik-rintik hujan dan langit yang mendung. Perkiraan cuaca yang saya dapatkan bahwa ini akan berlangsung sepanjang hari.
Tidak berlama-lama saya langsung mengikuti arah tanda panah yang mengarahkan lokasi untuk membeli tiket metro (atau kereta bawah tanah) yang dapat membawa saya keliling kota ini. Sebagaimana kota-kota di Eropa lainnya, tampak bahwa sistem transportasi metro dan bus yang terintegrasi dan tertata baik telah sigap melayani para penumpang yang sibuk hilir mudik untuk mengisi aktivitas kerja atau kuliah di pagi hari ini.
Satu hal yang selalu membuat iri kita jika dibandingkan dengan ibukota kita yang masih ‘tak berdaya’ mewujudkan sistem transportasi massal yang ramah bagi para penumpang. Entah karena alasan ekonomis atau ‘lack of political will’ pada pemangku amanah kita, hingga setengah abad setelah kemerdekaan, ini masih menjadi problem klasik.
Dari titik perhentian Neuilly Polte Maillot saya menaiki metro menuju titik Charles de Gaulle Etoille dan kemudian berpindah kereta menuju titik Trocadero.
Tidak mudah juga bagi pengujung seperti saya untuk mengetahui jalan menuju pusat kota ini, sehingga saya harus berkeliling beberapa kali di bawah metro dan bertanya kepada petugas penjual tiket yang akhirnya menunjuki titik-titik perhentian dan arah yang harus saya tempuh untuk menuju pusat kota.
Turun di Trocadero, saya beranjak keluar dari stasiun bawah tanah menaiki tangga untuk menuju ke pusat kota dengan berjalan kaki. Dari kejauhan sudah terlihat Tour Eiffel (Menara/Tower Eiffel) yang menjulang dan disekelilingnya taman hijau yang didesain untuk memberi suasana santai bagi para pengunjung.
Dari seberang menara Eiffel ini yang didesain agak tinggi dari jalan, saya dapat mengamati air mancur dan beberapa monumen kota terbesar Perancis ini. Dan sebagaimana kota-kota Eropa lainnya, patung-patung telanjang (naked statues) sudah menjadi pemandangan yang biasa.
Patung-patung wanita telanjang tanpa penutup dada atau lelaki tanpa celana sehingga tampak organ seksualnya sudah seperti keharusan dalam seni patung Barat. Meski sejarah patung telanjang sudah ada semenjak zaman Mesir kuno, maupun zaman Yunani dan Romawi kuno, patung-patung telanjang ini menjadi titik fokus dalam inovasi artistik pada era Renaissance Eropa yang berlangsung pada periode abad ke-14 hingga ke-17 Masehi.

Sebelum masa ini, Eropa yang berada dibawah kekuasaan Gereja Kristen Katolik yang mengajarkan kesucian dan juga melarang pernikahan (hidup membujang/ perawan) membuat seni patung telanjang termasuk hal yang tabu sebelum masa Renaissance. Hanya setelah gerakan pembangkangan terhadap kekuasaan Gereja Katolik yang despotik inilah akhirnya Eropa seakan-akan meraih kembali segala makna kebebasannya baik dalam berfikir maupun dalam seni artistik. */Ady C. Effendy, MA,alumni S2 Qatar Kandidat doktor di Paris, France