“POK, pok, pok!”
Sebuah suara membuyarkan mimpi yang tengah berputar di penghujung malam. Saya terbangun sekitar pukul 02.00 WIB dinihari. Berbeda dengan malam biasanya, ruangan di sekitar terasa asing. Sekejap kemudian, baru teringat jika Selasa itu adalah hari kedua saya berada di Cirebon.
Saat itu sejumlah santri Pesantren Al-Bahjah sedang membangunkan rekan-rekannya yang sedang tidur di masjid. Cara membangunkannya cukup unik, menepuk-nepuk kedua tangan mereka masing-masing. “Qum, qum, qum, ya Akhi!” seru mereka dalam bahasa Arab, sebagai seruan untuk bangkit dari tidur.
Saya dan Ahmad, rekan reporter Kelompok Media Hidayatullah juga tidur di masjid, dalam satu ruangan berukuran sekitar 6×6 meter persegi. Sebelum tidur, pengurus pesantren menawarkan kami tempat istirahat di ruangan khusus. Namun kami lebih memilih masjid.
Sesaat kemudian, puluhan santri duduk berbaris di Masjid Omar Al-Bahjah itu, melantunkan zikir-zikir. Dari pengeras suara, lantunannya mengoyak malam hingga ke sudut kampung Blok Gudang Air, Sendang, Sumber, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Mereka lantas menunaikan shalat tahajud. Saya bergegas ke tempat berwudhu di belakang masjid.
Ketika shalat berjamaah, sebagian besar santri memakai gamis putih, dan diharuskan memakai ‘imamah –surban dililit di kepala. Jika tidak akan di-ta’zir, atau dihukum, berupa berdiri usai shalat.
Dalam pengamatan saya, santri yang shalat berjamaah di masjid pesantren itu tampaknya tidak semua. Dari ratusan santrinya, mungkin hanya setengah yang tampak di masjid. Selebihnya, termasuk santri putri, shalat di tempat lain yang dikhususkan.
Ketika Santri Senam
Usai Shubuh, belasan santri putra melakukan senam pagi di halaman samping masjid tanpa mengganti pakaian shalat. Dari pengeras suara masjid, diputar irama pengiring senam. Bukan musik, tapi lantunan lafadz “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah”. Penggalan-penggalan suku kata tertentu dalam lafadz ini dijadikan irama tiap gerakan senam.
Pesantren ini kental dengan nuansa Nahdliyin. Namun Sekretaris Yayasan Al-Bahjah, Ustadz Arif menyebut pesantren tersebut bukan milik ormas Nahdlatul Ulama (NU). “Tapi secara kultural, kita Nahdliyin,” ujarnya saat menerima kami di kantornya Senin malam.
Menyambung silaturahim semalam di Masjid At-Taqwa, pagi itu, Selasa, 8 Muharram 1435 H (12/11/2013) kami diantar seorang santri menuju sebuah bangunan sederhana. Di area khusus putri ini, kami kembali bertemu dengan Yahya Zainul Maarif, Pendiri Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon. Tidak seperti biasa, Buya Yahya, panggilannya, tampil tanpa ‘imamah.
Sebenarnya Buya akan berangkat ke Bogor saat itu, mengisi jadwal ceramah rutinnya. Tapi dia meluangkan waktu menerima kunjungan kami sebelum berangkat ke Bogor naik kereta dari Stasiun Cirebon.
Setelah keberangkatan Buya pagi itu, kami berkeliling pesantren melihat-lihat kawasan perkebunan dan kolam ikan. Di bagian belakang kampus, terdapat kawasan khusus penghafal al-Qur’an. Santrinya anak-anak seusia SD, sebagian terlihat menggemaskan dengan ‘imamah-nya.
Saya juga mendatangi dapur umum pesantren, seluas sekitar 4×10 meter. Petugas dapurnya para Santri Khos yang seharian menangani konsumsi santri. Mereka baru masuk ruang belajar pada malamnya. “Belajar biasanya mulai ba’da (setelah) Maghrib hingga pukul 11.00 WIB malam,” ujar Fahrullah, Santri Khos asal Malaysia yang saya temui di sela-sela mengupas bawang.
Sementara Santri Khos putri bagian dapur, tugas mereka menyediakan konsumsi bagi para tamu. Selama beberapa kali disuguhi makanan, ada lauk yang langka saya dapatkan. Yaitu tahu dicampur telor, entah direbus atau dikukus. Rasanya mirip Siomay, penganan khas Bandung.
Es Legen
Sekitar pukul 08.25 WIB, kami pun meninggalkan Pesantren Al-Bahjah. Sambil menunggu angkot di Jalan Pangeran Cakra Buana, saya membeli dua botol kecil minuman Es Legen, harganya Rp 3 ribu perbotol. Es Legen disarikan dari buah Siwalan. Saya pikir rasanya manis, mirip minuman sari buah Aren yang dulu sering saya minum di kampung, Gunung Tembak, Balikpapan.
Tapi Es Legen terasa beda, rasanya asin-asin kecut, baunya pun menyengat. Saat mencicipinya, saya hampir muntah. Rencana membawanya pulang sebagai oleh-oleh pun gagal.
Tempat lain yang kami kunjungi adalah Yayasan Manarussalam Hidayatullah Cirebon. Terletak di Jalan Sekarkemuning Evakuasi, Kelurahan Karyamulya, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon, luas pesantren ini lebih kecil dari Al-Bahjah. Bedanya lagi, kampus ini menyatu dengan lingkungan masyarakat setempat. Salah satu tradisi yang dijaga di sini adalah shalat berjamaah. Kami sempat ikut shalat Zhuhur bersama para santri, termasuk pimpinan pesantrennya, Ustadz Suharno, dalam satu ruangan shalat.
Di antara motivasi spiritual yang dijalankan pesantren ini tertuang dalam Piagam Gunung Tembak, yang tertempel di gedung sekolahnya.
“Bahwa setiap kader Hidayatullah wajib menjalankan shalat berjamaah di masjid….” bunyi potongan salah satu poin dalam piagam yang dicetuskan pada acara Silaturahim Nasional Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur akhir Juni 2013 itu.
Setelah hampir dua hari, tiba saatnya kembali ke Jakarta. Siang harinya sekitar pukul 13.56 WIB, kami diantar ke Stasiun Cirebon dengan angkot D10 yang dicarter pengurus Manarussalam.
Yang Sama Yang Beda
Cerita lainnya dalam perjalanan ini, ada persamaan dan perbedaan antara pergi dan pulangnya. Kami berangkat dari Jakarta menuju Cirebon pada Senin, 11 November 2013 (sekaligus ralat; bukan 4 November 2013 seperti yang ditulis pada kisah pertama). Saat itu saya dan Ahmad naik kereta Cirebon Ekspres Eksekutif, duduk di Gerbong 2 kursi 13 C-D.
Pulangnya pun kami naik kereta Cirebon Ekspres Eksekutif, dengan nomor gerbong dan kursi yang sama. Tarifnya juga sama, Rp 120 ribu perpenumpang.
Bedanya, saat pergi kami naik kereta nomor 54, pulangnya naik kereta nomor 53. Bedanya lagi, saat dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat menuju Stasiun Cirebon, petugas pemeriksa tiket dikawal seorang polisi berseragam. Aparat tersebut tanpa senjata, sarung pistolnya tampak kosong.
Sementara saat pulang, Selasa itu -kereta berangkat pukul 15.15 WIB-, petugas pemeriksa tiket dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) dikawal seorang polisi bersenjata laras panjang.
Pengawalan ini rupanya menarik perhatian seorang penumpang di dekat kami. Pria 40-an tahun itu komplain kepada pihak KAI, dia merasa kurang nyaman atas kehadiran polisi tersebut. Yang dikomplain menanggapi datar. Usai petugas berlalu, penumpang tadi curhat kepada kami berdua.
“Mas rakyat biasa kan? Sebenarnya nggak perlu (polisi) bawa senjata digendong-gendong gitu. Kesannya sedang nggak aman, bikin takut. Saya sih nggak takut, cuma kalau ada wisatawan melihat, ntar bilang, ‘Kok begini?’. Saya sudah tegor dua kali tuh,” sungut pria berambut tipis itu bersemangat.
Kami senyum-senyum saja menanggapinya. Dilematis juga. Di satu sisi petugas tentu ingin memberi rasa aman dan nyaman. Di satu sisi, ada saja penumpang yang merasa kurang nyaman dengan kehadiran aparat bersenjata.
Dalam perjalanan menuju Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur itu, saya justru mengkhawatirkan hal lain. Sama seperti perjalanan pergi, yang membuat perjalanan pulang ini terganggu juga karena jendela di samping saya. Kacanya retak hampir menyeluruh, dengan lubang di tengahnya.
Bisa ditebak, kereta ini “langganan” pelemparan orang iseng. Faktanya banyak jendela lain dalam gerbong itu yang kacanya hampir pecah. Saya raba pelan-pelan lubang retakan di samping saya, kacanya bergoyang. Jika dilempar sekali lagi, dipastikan kaca ini pecah. Teringat remaja yang melempar kereta kami sehari sebelumnya. Semoga itu yang terakhir.*