MASUKNYA Islam di Kota Pontianak tidak bisa dilepaskan dari Keraton Kadiriyah. Bahkan, keraton ini ikut membidani lahirnya kota yang dilewati garis ekuator ini. Keraton Kadiriyah didirikan oleh Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadri yang merupakan saudagar dan kerap melakukan perjalanan perdagangan ke berbagai negara.
Menurut sejarahnya, Keraton Kadiriyah dibangun tahun 1771 M dengan luas sekitar 60 x 25 meter dengan terbuat dari kayu belian pilihan.
Kendati usianya telah ratusan tahun lebih, tapi keberadaan keraton hingga kini masih menjadi kebanggan masyarakat. Bahkan, tempat ini menjadi salah satu desteni sejarah yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
Seperti ketika hidayatullah.com mengunjunginya beberapa waktu lalu. Nuansa keraton masih sangat terasa. Terlihat simbol keraton di beberapa sudut kota. Salah satunya yang berada di pintu gerbang gapura dekat jalan raya besar, tempat masuknya keraton. Terlihat ucapan tahniah selamat datang dan salam dari Keraton Kadiriyah. Ucapan itu dilengkapi ukiran yang indah.
Lebih jauh, nuansa itu akan terasa ketika berada di lokasi ini. Ada sebuah pintu gerbang kuno berwarna kuning. Pintu gerbang dibangun dengan tembok tebal dengan atap di bagian atasnya. Terlihat tulisan Allah dan Muhammad di sisi kanan dan kiri. Sedangkan di tengahnya sebuah simbol topi raja. Yang membuat kesan kuno gerbang ini adalah dua meriam bekas yang terdapat di depannya.
Meriam itu tidak saja berada di depan pintu gerbang keraton. Meriam berwarna kuning juga berada tepat di depan keraton. Meriam kuno yang sebagiannya sudah karatan itu menghadap ke atas. Terlihat moncongnya yang siap memuntahkan pelurunya. Konon, meriam itu buatan Portugis dan Perancis. Setidaknya, di sekitar keraton ini ada kurang lebih tiga belas meriam.
Bentuk keraton ini terbilang unik. Sangat kental nuansa klasiknya. Arsitekturalnya bernuansa lokal. Belum tersentuh gaya asing. Bagian depan keraton ini berupa bangunan tingkat. Ada tulisan Muhammad dengan huruf Arab serta gambar bintang dan bulan sabit. Sedangkan di bagian atasnya terdapat tulisan dengan bahasa Arab melayu: “Istana Kadriyah.”
Keraton Kadiriyah terbuat dari kayu belian yang kokoh. Karena itu, meski usianya sudah ratusan tahun, tapi masih kuat. Hanya terlihat beberapa bagiannya yang mulai rapuh dan catnya yang mulai pudar. Kendati demikian, hal itu tidak mengurangi keelokan keraton tua ini.
Hidayatullah.com pun disambut Syarifah, salah satu penghuni keraton ini ketika hendak masuk dan mengetahui lebih detil isinya. Katanya, ia masih memiliki hubungan darah atau cucu dari Shultan ke enam keraton tersebut. Dan, yang boleh tinggal di dalam keraton adalah yang memiliki garis keturunan dengan Shultan. Keraton sendiri kata Syarifah sangat berjasa terhadap perkembangan Islam di bumi Pontianak.
“Perjuangan para Shultan sungguh sangat luar biasa. Mereka tidak saja melawan penjajah tapi juga hantu yang paling menakutkan,” tuturnya.
Dalam melawan penjajah itu, katanya, banyak keluarga keraton yang terbunuh. Syarifah masih sangat ingat, ketika masih kecil, ia melihat beberapa saudaranya yang meninggal dibunuh penjajah. Ia sendiri ketika itu lolos karena diselamatkan oleh salah seorang saudaranya.
“Ketika itu banyak keluarga saya yang mati dibunuh, ditembak oleh penjajah Jepang. Benar-benar tragis,” katanya.
Selama ini, menurut Syarifah, Keraton Kadiriyah baru mengalami dua kali renovasi. Dana perawatannya berasal dari patungan keluarga keraton dan sebagiannya dari pemerintah. Seperti ketika itu, saat situs ini mengunjunginya, keraton sedang dibersihkan dan sebagian dicat ulang.
“Mohon maaf nggak bisa masuk, kalau pekan depan insyaAllah sudah bisa,” ujarnya.
Ia mengatakan, keturunan Shultan sendiri jumlahnya banyak. Sebagian besar mereka telah menjadi orang cukup terpandang di Kota Pontianak, seperti pejabat pemerintahan, kejaksaan, dosen, guru, dan lain sebagainya.
Syarifah sendiri selain menghuni keraton juga menjual berbagai cinderamata kepada para pengunjung. Ada kain tenun songket, songkok khas pontianak, sarung, dan pernak-pernik seperti kalung, gelang, dan lain sebagainya. Ia pun menawari penulis untuk membeli songkoknya.
“Belilah songkok ini, mas. Tampaknya pas dan cocok dengan Anda. Saya doakan kelak kau menjadi kiai besar,” katanya sambil sedikit merayu. Penulis pun membelinya dengan harga Rp 35 ribu. Selain sebagai kenang-kenangan.*