SABTU, 16 Desember 2017. “Atih mau liat video a’ossam”, begitu kata Fatih, anakku tiba-tiba.
“Oooh Fatih mau lihat video Brigade Al Qassam, HAMAS, Palestina?”
Fatihpun mengangguk.
“Fatih seneng?” Tanya istriku.
Fatih mengangguk.
“Nanti Fatih masuk Brigade Al Qassam ya…”
Fatih mengangguk lagi.
“Tapi syaratnya hafal al-Qur’an, Tih. Fatih hafalin al-Qur’an dulu ya, nanti baru masuk Brigade Al Qassam!” kata istriku lagi.
Fatih mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
“Alhamdulillaaaaaaah,” kataku dan istri hampir bersamaan.
Baca: Terinspirasi Aksi 212, Coey Lian Masuk Islam dan Bela Palestina
Ahad, 17 Desember 2017. Pukul 05.00 WIB.
Aku sudah siap berangkat janjian di Stasiun Depok lama, Kota Depok, Jawa Barat, dengan anggota ITJ Depok.
Tiba-tiba sakit perut menyerang… Akupun BAB dulu dan mengakibatkan terlambat sampai stasiun. Rombongan ITJ Depok sudah berangkat. Ya sudah seperti biasa, berangkat sendiri.
Sebenarnya badan lemas sehabis buang air besar tadi, tapi mengingat obrolan dengan Fatih tadi malam, bangkit semangatku. Lemas di fisik tapi di jiwa tidak! Lagipula aku sangat mencintai Palestina, sangat sangat sangat… sejak aku masuk rohis di SMA.
Akupun ingin sekali berkumpul dengan orang-orang yang juga sangat kuat cintanya kepada Palestina.
Di Stasiun Depok, antrean, tumben mengular sampai panjang sekali. Waktu acara Reuni 212 aku tidak antre, sekarang antre panjang sekali.
Kira-kira 15 menit antre, ada mbak-mbak menawarkan uang elektronik, “Bapak-Bapak kalau beli ini tidak usah antre, langsung bisa dipakai untuk naik kereta. Harga Rp 50.000 ada saldo Rp 30.000.”
Ya sudah daripada lama antre aku beli saja 1, toh aku cukup sering naik kereta.
Tidak berapa lama datanglah kereta. Ketika akan naik, aku digotong oleh dua orang berbaju dan berpeci putih. Ternyata mereka juga mau ke Lapangan Monas, Jakarta Pusat.
Dalam waktu singkat kereta penuh sesak, penumpang berjubel. Ketika Reuni 212 tidak se-berjubel ini.
Untuk menghilangkan penderitaan berdesak-desakan, aku menonton live streaming Daarut Tauhiid tentang Aksi Bela Palestina di Monas. Aksi gelaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut memang menjadi tujuan perjalananku saat itu.
Para penumpang yang lain senang. “Naaaaah bagus tuh setel acara live-nya sebelum kita sampai sana!” Terus menonton acara live ternyata tak terasa sudah hampir sampai di Stasiun Gondangdia.
Ketika KRL berhenti, banyak sekali yang ingin turun, berdesakan sekali. Aku yang memakai tongkat ini sangat susah bergerak menuju pintu. Ternyata pintu sudah mau ditutup lagi. Aku enggak bisa turun. Ya sudah nanti saja di Stasiun Juanda.
Sampai di Stasiun Juanda sangat penuh dan berdesakan. Banyak orang bershalawat dan berdzikir, merinding mendengarnya.
Saya turun tangga menggunakan eskalator yang mati. Step-nya tinggi-tinggi sekali. Sampai di bawah, lelah luar biasa. Istirahat dulu. Ambil napas dulu yang ngos-ngosan.
Setelah setengah jam, aku jalan kaki ke luar stasiun. Di luar stasiun aku memesan ojek berbasis aplikasi ke arah Monas. Sampai di sana, abang driver-nya enggak mau dibayar! Terima kasih ya, Abang Ojek, yah aku enggak inget namanya, maaf ya!
Sampai di kawasan Monas, jalan sedikit langsung mendengarkan orasi. Ketika acara hampir berakhir. Dibacakan ikrar pemuda Indonesia. Ketika sampai bagian, “Apabila semua jalan diplomasi buntu, kami siap berangkat ke Palestina untuk berjihad!” Semua pemuda langung berdiri dan bertakbir yang menggetarkan hati! “Allahu Akbar!”
Tiba-tiba teman sebelahku memberikan nasi kotak kepadaku.
“Ini buat antum (anda)!”
“Lah itu, kan, cuma buat 1! Nanti antum bagaimana?” Aku bertanya.
“Buat antum aja. Ana (saya) lihat wajah antum lelah sekali. Belum makan ya?”
“Belum, akhi (saudaraku). Jazakallah (semoga Allah membalas-kebaikan-mu)!”
Sehabis berdoa, jutaan massa membubarkan diri dengan tertib. Aku duduk di kursi. Ada ikhwan-ikhwan lain yang juga duduk.
“Darimana, Pak?”
“Depok!”
“Wah sama kami juga dari Depok! Antum sama siapa?” tanyanya kepadaku.
“Sendiri.”
“Woooi temen-temen lihat bapak ini nih… berangkat sendiri dari Depoook!”
“Dahsyat, Pak! Salut! Walaupun pakai tingkat berangkat sendiri dari Depok!”
Tiba-tiba ada dari rombongan lain menjabat tanganku dan minta foto bareng. Kamipun foto bareng.
Ayo Pak kita jalan kaki pulang ke Stasiun Juanda.
Setelah 5 menit. Istirahat dulu. Aku ngos-ngosan dan keringat mengucur deras. Istirahat 3 menit, jalan lagi. Setelah 5 menit, istirahat lagi karena aku ngos-ngosan lagi. Jalan lagi teruuuuus selama 15 menit sampai di Masjid Istiqlal, di seberang Stasiun Juanda. Antrean menuju jembatan penyeberangan panjang sekali.
Waduh! Melihatnya aja udah capek! Dan pundak kiri-kanan sakit banget! Pegal! Pinggang juga sakit! Pegal!
Lalu aku bilang kepada teman seperjalananku yang baru kenal di aksi ini, “Saya naik Grab Bike saja untuk nyeberang. Kita ketemu di pos polisi. Tunggu 15 menit, kalau saya enggak datang tinggal aja! Berarti saya sendiri ke Depok!”
Akhirnya aku naik Ojek Aplikasi itu. Ternyata driver-nya mengantarku lewat pintu yang lain. Jadilah aku pulang sendiri. Sampai di Stasiun Juanda tidak bisa masuk peron. Karena penuh sekali.
Karena ngos-ngosan, aku istirahat dulu saja sambil menunggu stasiun agak lowong. Setelah 1 jam, akhirnya agak lowong, akupun menaiki tangga sendiri.
“Akhi! Sini kami bantu!”
“Oh oke, tolong pegangin tongkat saya saja!”
Akupun menaiki tangga dan tak lama keretapun datang.
“Ayo, akhi, kami bantu naik kereta!”
Akupun dibantu dua orang berpakaian dan berpeci putih.
Sampai di kereta aku berteriak, “Ayo prioritas, prioritas. Difabel, difabel!” Seorang wanita bercadar bangun dari duduknya dan memberikan kursinya kepadaku.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Jazakallah, Ukhti (saudara perempuanku)!”
Berjalanlah kereta dan akupun tertidur, kelelahan. Tahu-tahu sudah sampai stasiun Universitas Pancasila, Jakarta Selatan. Tak lama kemudian sampai di Stasiun Depok lama.
Akupun turun dibantu 2 orang yang juga tadi ikut Aksi Bela Palestina. Di stasiun aku makan dan memesan angkutan mobil berbasis aplikasi. Sesampainya di tujuan, ternyata driver-nya juga tidak mau dibayar.
Kalau kata Ustadz Yusuf Mansur, kalau ada yang seperti baiknya itu, itu belum tentu manusia, bisa saja malaikat. Kalaupun ternyata manusia, ya manusia berhati malaikat lah.
Sampai juga di rumah. Aku langsung memeluk Fatih. Mandi sebentar, lalu aku bersama istri dan anak ke masjid untuk shalat maghrib. Pulang sebentar, balik untuk shalat isya. Habis isya langsung tertidur lagi badan meriang dan pegal-pegal.
Keesokan harinya, yaitu saat aku menuliskan cerita ini, aku dalam keadaan ulu hati sakit, dua pundak sakit pinggang sakit. Semoga semua sakit ini menjadi saksi di hari kiamat kelak.
Ketika Hari Perhitungan, rakyat Palestina bertanya, wahai umat Islam ke mana kalian waktu kami dijajah, dibantai, dipukuli, ditendangi bagaikan anjing, ditembaki peluru, dilarang shalat, didzalimi, kehormatan wanita kami dihina.
Semoga semua rasa sakit ini menjadi saksi bahwa aku sudah berbuat untuk Palestina, walaupun hanya seujung kuku.
Wahai Pejuang Palestina, mudah-mudahan nanti yang membebaskanmu adalah Muhammad Fatih Hafizhahullah. Anakku. Wallahu A’lam Bis Shawab.* Dikisahkan untuk hidayatullah.com oleh Agung Pribadi, penulis buku