Kiatnya cukup unik dalam memakmurkan kegiatan. Hingga dijuluki sebagai masjid pelarian
Hidayatullah.com–Sudah tiga puluh menit sejak azan Shubuh berkumandang, tetapi suara iqomah di Masjid ar-Rabithah belum juga terdengar.
Jarum jam dinding tepat menunjukkan pukul empat lebih lima puluh menit ketika Suara Hidayatullah masuk ke dalam masjid yang terletak di Jalan Pengeran Puger, Nomor 21, Demaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, tersebut. Beberapa jamaah terlihat masih ada yang menunaikan shalat sunnah qabliyah.
Sebagian lagi khusu’ berzikir dan membaca al-Qur’an. Shaf pertama pun dipenuhi oleh jamaah baik dari kalangan orangtua maupun anak-anak muda.
Sekitar tujuh menit berselang, barulah sang muadzin mengumandangkan iqomah. Imam shalat bergegas mengomando agar jamaah merapikan dan merapatkan shaf sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Ketika itu, 4 dari 6 shaf yang tersedia dipenuh oleh jamaah.
“Satu shaf kalau (terisi) penuh sekitar 17 sampai 18 orang (jamaah),” jelas Ketua Takmir Masjid ar-Rabithah, Ahmad Sofyan Sanusi, saat berbincang dengan Suara Hidayatullah di Kudus, beberapa waktu lalu.
Bagaimana kiat-kiat yang dilakukan takmir, sehingga jamaah Shalat Shubuh dapat seramai itu—kurang lebih sekitar 70-an orang?
Ahmad Sanusi, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa, pengurus tidak membatasi jamaah masjid hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Semua orang bisa menjalankan ibadah di Masjid ar-Rabithah dan memanfaatkannya untuk kegiatan keagamaan seperti majelis taklim dan sebagainya.
“Istilahnya kita netral. Tidak memihak manapun. Semua jamaah bisa memberikan masukkan-masukkan. Kalau ada yang baik akan kita ambil dan terapkan,” ujarnya.
Ahmad Sanusi juga tak pernah menyebarkan proposal ketika membutuhkan dana entah untuk pembangunan sarana prasarana atau kegiatan masjid. Seperti ketika pengurus merenovasi total Masjid ar-Rabithah tahun 2005 silam. Ia pun mengajak jamaah aktif musyawarah. Karena jamaah aktif inilah yang paham tentang kondisi serta apa yang dibutuhkan oleh masjid.
Jeda Waktu Cukup Panjang
Pada prinsipnya, setiap jamaah ingin mendapatkan kenyamanan ketika masuk ke sebuah masjid. Di sinilah yang menjadi alasan utama kenapa pengurus Masjid ar-Rabithah berusaha memberi pelayanan terbaik demi mewujudkan kenyamanan sebagaimana yang diharapkan oleh jamaah.
“Nyaman utamanya berkaitan dengan aspek spiritual,” jelas Wakil Ketua Takmir Masjid ar-Rabithah, Fuad Riyadi, ketika berbincang dengan Suara Hidayatullah di Kudus, beberapa waktu lalu.
Fuad mengatakan, ada sebagian jamaah aktif yang memang bukan penduduk asli dan tak tinggal di sekitar masjid ar-Rabithah. Bahkan, lanjutnya, ada jamaah yang tempat tinggalnya berjarak kurang lebih 10 kilometer dari masjid yang direnovasi total pada tahun 2005 ini.
“Setiap Shubuh, mereka selalu shalat ke sini. Makanya, ada sebagian jamaah yang mengatakan masjid ini adalah masjid internasional,” katanya tersenyum.
Lha kok bisa disebut masjid internasional? Fuad menjelaskan, karena jamaahnya dari berbagai wilayah. Mereka merasa nyaman, shalatnya pun tidak terburu-buru, terutama waktu Shubuh. Takmir memberi jeda waktu antara azan dengan iqomah 30 sampai 40 menit dalam rangka memberikan peluang bagi jamaah yang bangun terlambat atau rumahnya agak jauh dari Masjid ar-Rabithah.
“Bahkan, ada sebagian jamaah, kalau mereka ke masjid terdekat itu sudah selesai Shalat Shubuhnya, larinya ke sini. Jadi, bisa dikatakan sebagai masjid pelarian bagi jamaah, khususnya Shalat Shubuh,” jelasnya sambil tertawa ringan.
Selain jeda waktu yang cukup panjang, hal-hal lain yang membuat jamaah tertarik dan nyaman shalat Shubuh berjamaah di Masjid ar-Rabithah yaitu, karena adanya majelis ilmu yang digelar selesai shalat seperti kajian tahsin al-Qur’an setiap Rabu dan Sabtu.
“Kiranya ingin merasakan bagaimana sensasi Shalat Shubuh di sini, silahkan besok Shalat Shubuh di sini,” ajak Fuad.
Timbal Balik Kenyamanan
Sebagaimana dalam al-Qur’an, Fuad menjelaskan, sudah seharusnya orang yang beriman itu memakmurkan masjid. Kemakmuran di sini bukan selalu berorientasi pada seberapa banyaknya bantuan dari jamaah untuk mendukung setiap program kegiatan masjid.
“Orang-orang bukan dimintai ini, dimintai itu. Namun, berangkat dari kesadaran mereka sendiri. Dahulu, tahsin Shubuh setiap Rabu ataupun Sabtu hanya 5 orang, sekarang kurang lebih 30 orang. Awalnya nggak ada makanan dan minuman, lalu dari kesadaran jamaah, akhirnya ada yang menyediakan makanan serta minuman. Ya, minimal ada tehnya,” bebernya.
Nah, apa kiatnya hingga kesadaran jamaah bisa muncul dengan sendirinya?
Fuad menjelaskan, kesadaran itu merupakan timbal balik dari kepuasan batin. Jadi ketika jamaah memperoleh kepuasan batin, karena merasakan nyaman beribadah maka, timbal baliknya mereka akan rela mengeluarkan apapun untuk mendukung seluruh program kegiatan masjid yang ada.
“Mengeluarkan sesuatu ini juga merupakan support untuk menguatkan kepuasan batin itu sendiri,” imbuhnya menegaskan.
Fuad mengibaratkan, jamaah merasa lebih bahagia ketika mengeluarkan hartanya untuk mentraktir orang-orang yang mengkaji al Qur’an dari pada mentraktir orang yang tak jelas. Jadi ketika mereka mengeluarkan hartanya untuk berbuat kebaikan pastinya merasakan kebahagiaan dalam batinnya.
“Jika taklim malam (ba’da Shalat Maghrib) itu biasanya takmir yang menyediakan makanan dan minumnya. Kalau Shubuh, biasanya dari jamaah. Bahkan, terkadang jamaah yang menjadwal sendiri waktunya,” terangnya.
Untuk majelis taklim di Masjid ar-Rabithah, memang diselenggarakan rutin setiap hari. Selain, tahsin al-Qur’an pada Rabu dan Sabtu, juga ada tausyiah atau kultum setiap ba’da Shalat Shubuh. Lalu, ada kajian taklim antara waktu selesai Mahgrib hingga menjelang Isya’, majelis taklim Ahad pagi dan seterusnya.
“Kajian-kajian ini kita rutinkan memang untuk menghidupkan dan memakmurkan masjid. Buat apa masjid dibangun kalau bukan untuk dimakmurkan?” tutup Fuad. *Achmad Fazeri/ Hidayatullah.com