Hidayatullah.com– Jarum jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi, tapi Munajab (65 tahun) sudah terlihat rapi. Tak jarang, dia juga menyiapkan bekal untuk makan siang.
Sebelum mentari menampakkan sinarnya dari ufuk timur, ia memang sudah harus meninggalkan kediamannya di daerah Pandaan, Pasuruan, menuju Kampung Budi Daya Rumput Laut Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo.
“Biar nggak kesiangan sampai sini,” ujar Munajab sambil membolak-balik rumput laut jenis Gracilaria sp. yang dijemur di atas rak-rak bambu di pinggiran tambak.
Saban hari, Munajab harus menempuh perjalanan selama hampir 1,5 jam dengan mengendarai sepeda motor. Meskipun jauh, ia sangat bersyukur bisa mendulang rezeki dari Kampung Budi Daya Rumput Laut Desa Kupang. Sebab, dari situ ia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya, termasuk membiayai sekolah anak-anaknya.
“Saya jadi buruh di sini sudah hampir 8 tahun,” aku ayah dari tiga anak ini seraya menyungging senyum kepada Hidayatullah.com, Senin (5/12/2022).
Pria asal Trosobo, Sidoarjo, ini mengaku memperoleh upah 1,7 juta rupiah dari 1 ton rumput laut kering yang dihasilkan. Upah tersebut ia dapatkan setiap selesai penimbangan di gudang “Samudera Hijau Satu” Kampung Budi Daya Rumput Laut Desa Kupang.
“Kalau musim kemarau, penimbangan bisa dilakukan setiap 10 hari sekali. Namun untuk musim hujan seperti sekarang itu bisa 13-15 hari baru penimbangan. Sebab harus menunggu sampai kering,” jelas Munajab yang biasa mengambil libur 2 hari setiap selesai “gajian”.

Dari Potensi 1.200 Hektar, Baru Tergarap 800 Hektar
Setelah suskes dikembangkan, potensi rumput laut di Desa Kupang ternyata amat besar. Bahkan, menurut Amin Tohari, pengurus Samudera Hijau Satu—Kelompok Pembudidaya Rumput Laut Desa Kupang, hasilnya bisa berkali-kali lipat dibanding dengan budi daya udang maupun bandeng yang sudah lebih dulu dibudidayakan.
“Kalau bagus, tambak seluas 1 hektar itu mampu menghasilkan 2 ton rumput laut kering atau dari 1 kwintal (basah,-red) bisa menghasilkan 15 kilogram rumput laut kering,” jelas Tohari kepada Hidayatullah.com, Senin (5/12/2022).
Di Desa Kupang sendiri, lahan tambak yang kini digunakan untuk pembudidayaan rumput laut sekitar 800 hektar dan dikelola oleh 167 pelaku utama Rumah Tangga Pembudidaya (RTP). Artinya, dari lahan seluas itu jika tergarap seluruhnya dengan baik, maka mampu menghasilkan 1.600 ton rumput laut kering.
Sementara, Tohari menambahkan, potensi lahan tambak yang bisa dimanfaatkan untuk budi daya rumput laut di tanah kelahirannya tersebut bisa mencapai 1.200 hektar.
“Untuk harga kering per kilogramnya dari petani itu variatif. Sekarang ini ada yang 6.000. Ada juga yang 6.300. Ya.., tergantung dari kualitasnya,” jawab Tohari ketika ditanya soal harga jual rumput laut kering dari para petani tambak ke tengkulak.
Mengenai siklus panennya, Tohari menjelaskan, rumput laut di Desa Kupang baru dapat dipanen setelah 2 bulan dari waktu tanam. Namun, dia menegaskan, untuk panen pertama, tidak boleh diambil semuanya. Tujuannya agar rumput laut yang baru ditanam tersebut dapat merata terlebih dahulu ke seluruh penjuru tambak.
“Sekali tanam, rumput laut dapat dipanen terus menerus. Itu nggak ada habisnya. Kecuali ada penyakit atau faktor alam. Seperti punya saya, itu tanam awal tahun 2015, sampai sekarang masih ada,” papar Tohari yang punya tambak warisan dari orangtuanya seluas 10 hektar.

Dicanangkan Sebagai Kampung Percontohan
Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sakti Wahyu Trenggono telah mencanangkan Desa Kupang, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) sebagai percontohan Kampung Budi Daya Rumput Laut.
“Pencanangan Kampung Budi Daya Rumput Laut yang merupakan terobosan KKP ini diyakini dapat mendukung optimalisasi peningkatan kesejahteraan masyarakat pembudidaya di daerah,” terang Trenggono, dikutip Hidayatullah.com dari siaran persnya, Rabu (20/4/2022).
Trenggono datang langsung ke lokasi budi daya rumput laut ini dalam rangka ingin menjadikan Desa Kupang sebagai kampung percontohan terkait budi daya rumput laut, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Di Desa Kupang sendiri, komoditas unggulannya adalah jenis Gracilaria sp (rumput laut merah) yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk keperluan industri modern, baik itu di bidang pangan maupun non-pangan.
“Total produksi rumput laut mencapai 200-500 ton per bulan dengan harga jual kurang lebih Rp 6.000 per kilogram. Perputaran ekonomi rumput laut di kawasan Jabon sekitar Rp 1,2-3 miliar per bulan,” jelas Trenggono.
Dengan mengusung konsep Corporate Farming, pencanangan kampung budi daya rumput laut di Desa Kupang ditargetkan bisa menjadi pemicu tumbuhnya aktivitas ekonomi turunan seperti usaha pengolahan dan sebagainya.
Menurut Trenggono konsep ini dilakukan dengan menyinergikan berbagai potensi guna mendorong berkembangnya sistem usaha perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan.
“Hasil utama tambak ini harus dikembangkan agar bisa menjadi contoh kampung budi daya yang semakin meningkat produktivitasnya. Untuk itu, KKP melalui DJPB melakukan pendampingan teknologi pada kegiatan polikultur guna meningkatkan nilai tambah,” jelas Trenggono.
Awalnya Sempat Dibuang Oleh Petani Tambak Desa Kupang

Kisah perjalanan budi daya rumput laut di Desa Kupang itu bermula tahun 1990-an, ketika ada seorang pengusaha menunjuk salah satu petani tambak dari Desa Kupang untuk budi daya rumput laut jenis Gracilaria sp.
Waktu itu, kata Tohari, pertumbuhannya sangat bagus. Tapi ternyata tak diambil oleh pengusaha tersebut, sehingga petani tambak membuang ataupun membagi-bagikan rumput laut itu kepada siapa saja yang berminat secara cuma-cuma.
“Nah, yang dibuang itu akhirnya menyebar ke tambak-tambaknya orang,” imbuh Tohari kepada Hidayatullah.com, Senin (5/12/2022).
Kala itu, Tohari menuturkan, pemilik tambak di Desa Kupang masih banyak yang menganggap rumput laut sebagai hama—pengganggu bagi pertumbuhan udang maupun bandeng yang mereka budidayakan.
“Baru sekitar tahun 2000-an itu ada yang laku. Tengkulak pertama namanya Pak Wintari. Dulu harganya masih Rp 600-800 per kilogram,” ujar Tohari.
Kemudian, sekitar tahun 2004, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo menunjuk Agus Rofiq dari Desa Kedung Cangkring dan Bustamin dari Desa Kupang guna membudidayakan rumput laut. Pertumbuhannya ternyata juga cukup bagus.
“Istilahnya, mereka sedang promosi. Tanam rumput laut itu begini caranya. Terus keuntungannya juga lumayan. Ada yang merespon, ada juga yang tidak. Tapi sejak itu memang mulai ada geliat dari petani tambak,” jelas Tohari.
Seiring berjalannya waktu, tahun 2009, terjadi kenaikan harga rumput laut. Petani tambak Desa Kupang pun ramai-ramai membudidayakan rumput laut Gracilaria sp tanpa harus meninggalkan budi daya bandeng dan udang. Saat itu, harga jual dari petani tambak ke tengkulak rumput laut bisa mencapai 7500-10.000 per kilogram.
“Setelah itu baru Pak Haji Mustofa terjun di dunia rumput laut. Seingat saya tahun 2013. Sebelumnya jadi penonton saja. Hanya budi daya udang dan bandeng,” kata Tohari.
Waktu itu, masih lanjut Tohari, memang banyak juragan rumput laut yang gulung tikar karena harganya anjlok. Meski kondisinya begitu, katanya, Mustofa memiliki keinginan untuk mencoba budi daya rumput laut, dan ternyata terus berkembang sampai sekarang.
“Sejak Pak Haji Mustofa turun banyak dilirik oleh dinas maupun pengusaha. Tahun 2015 gencar-gencarnya,” kata Tohari yang kemudian mulai ikut membudidayakan rumput laut pada tahun tersebut.*