Hujan deras mengguyur bumi Karangkobar dan siapapun yang berada di atasnya. Menaiki roda dua, Furqon dan Muhammad berangkat menuju Dukuh Jemblung. Sebuah pedukuhan di di Desa Sampang, Bajarnegara yang namanya sontak menjadi trending topik nasional setelah sebuah bukit yang berada tepat di atas pemukiman penduduk runtuh, kemudian mengubur, menimbun, dan menyisakan apa saja yang tersisa; Berupa isak tangis, sedih, pilu, kemudian disusul doa yang hanya bisa dipanjatkan pada Sang Maha Kuasa.
Spidometer tidak dapat melebihi angka 45 KM/jam, Furqon terpaksa menurunkan laju kecepatan Honda Revo nya, memilih tidak menantang hujan yang kian kencang saja menusuk nusuk wajahnya. Kabut tebal menyelimuti perbukitan sepanjang jalan, dukuh Tekik dan Sampang yang berdampingan dengan dukuh Jemblung hilang dilahap kabut, hanya setengah bukit saja yang dapat dilihat kasat mata pada radius pandang 50 meter.
Lima menit, dua anak muda itu sudah sampai di pelataran Mushola Dukuh Jemblung. Disambut sorak sorai anak anak TPA, “Ka Furqon.. Kaka..!” Teriak anak anak melambaikan tangan. Setiap hari mereka berdua mengajar anak anak dan Ibu Ibu, sisa masyarakat Dukuh Jemblung yang masih hidup. Dua Dai utusan Peduli Muslim itu ditugaskan mendampingi masyarakat baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun maupun bimbingan rohani.
“Kita ada ngaji dengan Ibu-ibu setiap hari. Ini sudah masuk minggu ketiga setelah mereka kembali ke rumah masing-masing dari Posko Pengungsian. Sambil kita membenarkan bacaan mereka dengan tajwid dan tahsin,” terang Furqon Hidayat.
“Selain pendampingan agama, program penyaluran bantuan masih terus kita hal galakan, selain itu, kita juga belajar tulis Al Quran dan tafsir Juz Amma.
Enggan Libur Ngaji
Soal hari libur, kata Muhammad, “Lah, gimana lagi.. kita sudah tanya, minta berkali kali, malah sedikit memaksa agar ibu- ibu itu mau libur barang satu dua hari. Pernah saya tanya, ibu ibu gimana kalo hari ahad kita libur ya, ngajinya? Jawab ibu ibu, halah mas, memang kita PNS hari minggu libur? Ngaji ko libur, mas?!” Tutur Muhammad. “Ya akhirnya kami mengalah, setiap hari mengaji. Khusus hari Senin kita mengadakan Pengajian Akbar sekaligus Buka Bersama. Jadi, ya libur ngaji ibu ibu itu hari senin itu, liburnya malah pengajian lagi,” tambahnya.
Jam dinding menunjukan pukul empat lebih dua puluh menit. Ibu- ibu dan anak anak masih khusyu’ mengaji di dalam mushola. Sedangkan payung dan jas hujan mereka tinggal di pelataran masjid bersama deras hujan yang masih terus berjatuhan. “Ini satu diantara tiga surat yang Kanjeng Nabi katakan, siapa yang hendak melihat seakan kiamat di depan matanya, bacalah surat Al Qiyamah, ini,” jelas Muahmmmad di hadapan lima ibu ibu pada sela sela waktu Pelajaran Tahsin.
Petir dan gemuruh hujan makin kencang saja, kabut kian tebal, angin kencang ditambah air hujan yang melindungi pelataran mushola membuat terpal jatuh, “Brak!” Sontak seisi mushola kaget, alhamdulillah tidak ada korban. Terpal bertiangkan bambu itupun dibenahi sekedarnya agar tak membahayakan. Lantas anak anak dan ibu ibu kembali mengaji. Terpal tersebut dipasang karena mushola kecil tersebut tidak sanggup menyambung jumlah anak anak dan ibu ibu yang setiap hari berangkat mengaji.
“Anak anak dan ibu ibu di sini selalu nampak ketakutan dan muram ketika hujan deras disertai petir mengguyur desa mereka,” terang Muhammad. ”
Muhammad menjelaskan bahwa bacaan Al Quran peserta pengajian menjadi tersendat, bahkan ada yang sontak sesaat terdiam tak sanggup membaca.
Muhammad mengisahkan Umi Kayla, salah satu Jamaah pernah bilang kepadanya, “Mas! Saya takut sekali kalau hujan lebat seperti ini. Jantung saya seperti mau copot!” Karena si ibu menyaksikan peristiwa tanah longsor dengan mata kepala sendiri dan itu terjadi saat hujan deras.
“Takut, Ka..” Kata Anggi dan Tina yang saat itu beberapa anak anak nampak menunduk, mendekap lengan Muhammad sambil meneteskan air mata. Ketakutan.
“Ya, demikian yang kami lihat, dan kami berdoa pada Allah untuk ketabahan serta ketistiqomahan masyarakat di sini,” lanjut Muhammad.*