HARI itu, di tengah kesibukan mengurus toko di daerah Serang, Provinsi Banten, tiba-tiba datang seorang wanita tua mengetuk pintu kaca.
“Bu… beli kue saya, belum laku satupun, “ katanya.
“Andai saja sudah ada yang laku, saya tidak akan berani mengetuk kaca toko ibu,” demikian tambahnya.
Saya lihat wajah wanita berusia sekitar 45 tahun ini pucat dan memelas. Wajahnya terlihat kurus dan lebih tua, kemungkinan karena kurang gizi.
Saya persilakan beliau masuk dan duduk. Sementara saya sedang mengambilkan segelas air dan beberapa butir kurma untuknya.
“Ibu bawa kue apa?
“Gemblong, getuk, bintul, gembleng, bu, “ ujarnya lirih.
“Saya nanti beli kue ibu. Tapi ibu duduk dulu, minum dan istirahat dulu, muka ibu sudah pucat.”
“Kepala saya sakit bu, pusing, tapi harus cari uang. Sementara anak saya sakit, suami saya sakit. Di rumah hari ini beras sudah tidak ada sama sekali. Makanya saya paksain jualan,” katanya sambil memegang keningnya.
Air matanya mulai terlihat jatuh. Saya cuma bisa memberinya sehelai tisu.
“Sekarang makan makin susah, bu. Kemarin saja beras nggak kebeli, apalagi sekarang, katanya BBM naik. Apa-apa serba naik. Saya sudah 3 bulan cuma bisa bikin bubur. Kalau masak nasi nggak cukup. Hari ini jualan nggak laku, nawarin orang katanya nggak jajan dulu. Apa-apa pada mahal, kata mereka. Jadi uang belanjanya pada enggak cukup.”
Anak ibu sakit apa?, “ saya bertanya dengan penuh empati.
“Nggak tau, bu. Batuknya berdarah, “ ujarnya membuat saya terpana.
“Ibu harus bawa anak ibu ke Puskesmas segera, kan ada BPJS.”
Dia hanya menunduk.
“Saya bawa anak saya pakai apa, bu? Gendong saja nggak kuat, jalannya jauh. Naik ojek nggak punya uang,” ujarnya dengan tatapan kosong.
Ya Allah, saya baru tersadar, mengapa harus saya lontarkan pertanyaan sebodoh itu?
“Ini kue bikinan ibu sendiri?”
“Enggak, bu. Ini saya ngambil,” jawabnya.
“Penghasilan Ibu dari sini aja? Berapa ibu dapet setiap hari?”
“Nggak pasti, bu. Ini kue untungnya hanya 100-300 rupiah, bisa dapet 4 ribu sampai 12 ribu paling banyak,” jawabnya dengan suara mulai lemah.
Kali ini air mata saya yang mulai mengalir tak tertahankan. Entah, batin saya serasa sedih dan teriris-iris.
“Ibu pulang jam berapa jualan?”
“Jam dua siang. Saya nggak bisa lama-lama. Soalnya uangnya segera untuk membeli beras. Suami dan anak saya belum makan. Saya nggak mau minta-minta, saya nggak mau nyusahin orang, bu.”
Hati saya rasanya sudah tidak tahan lagi mendengar semua cerita dan penjelasannya.
“Ibu, kue-kue ini tolong ibu bagi-bagi di jalan. Ini uang untuk ibu beli beras satu bulan. Ini uang buat ibuk 10x bolak-balik naik ojek atau angkot agar ibu bawa anak ibu berobat segera. Sekalian, ini juga buat modal ibu berjualan sendiri. Ibu segera pulang dan bawa kurma-kurma ini buat pengganjal lapar,” demikian kata saya sambil masih menahan sedih.
Tak beberapa lama, dia pindah dari kursi ke lantai. Dia bersujud di depan saya tanpa mengeluarkan sepatah katapun, sambil mengembelikan yang dan semua pemberian saya.
“Kalau ibu mau beli, beli lah kue saya. Tapi selebihnya enggak, bu. Saya malu.”
“Ambillah, bu. Ini bukan buat ibu, tapi buat ibu saya. Saya melakukan bakti ini untuk ibu saya, agar dia merasa tidak sia-sia membesarkan dan mendidik saya. Jadi tolong diterima ya?” Sembari saya tetap memegang erat tangannya kala itu.
Segera saya angkat keranjang jualannya dan memegang lengannya. Ya Allah, saya baru menyadari rupanya demamnya sangat tinggi.
“Ibu segera pulang ya?”
Entahlah, kami berdua tidak menyampaikan kata-kata lagi.
Dengan bercuruan air mata, dia memeluk saya.
“Bu, saya nggak mau ke sini lagi. Saya malu. Ibu nggak doyan kue jualan saya. Saya tahu, ibu cuma kasihan sama saya. Saya benar-benar malu,” katanya yang berlinang air mata.
“Ibu, jangan tersinggung ya, tentu saja saya doyan. Tapi di rumah banyak makanan, sementara di luar pasti banyak orang yang masih kelaparan dan belum tentu punya makanan.”
Saya raih tangan beliau dan mengantarnya menuju sebrang jalan hingga ia benar-benar naik angkutan umum.
Tak ada kata-kata lagi padanya selain masih terus berurai air mata. Begitupun saya.
Saya kembali bekerja, menjaga toko sembari membuka-buka laman Facebook. Saya membaca berbagai status dan kegiatan orang orang berduit dengan perasaan memuakkan.
Sedihnya, hingga kisah ini saya tulis, saya tak sempat menanyakan nama dan alamat ibu tersebut. Ya Allah Ya Rabb, hari ini Engkau telah mengajariku kehidupan dari wanita yang mulia tadi.*/Dikisahkan dan ditulis Ernydar, diedit ulang redaksi hidayatullah.com