Mengutamakan shalat di atas segala urusan. Shalat harus dilakukan dengan serius dan bersungguh-sungguh, tidak bisa dengan asal-asalan
Hidayatullah.com--“Kalau para hadirin ingin melihat bagaimana praktik kehidupan Islam yang sesungguhnya, silakan kunjungi Pondok Pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak.” Ucapan ini disampaikan oleh Ustadz Abdullah Said (alm) di hadapan ratusan jamaah pengajian rutin malam Jum’at di Masjid Karang Bugis, Balikpapan, Kalimantan Timur. Ahmad Suradi yang berkesempatan menghadiri pengajian itu merasa terusik.
“Saya sempat berpikir, sombong sekali ustadz ini, kok bicara seperti itu,” ungkap Suradi mengenang responnya waktu itu.
Ia ingin membuktikan kebenaran ucapan sang ustadz. Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Dalam suatu kesempatan, Ustadz Abdullah Said mengundang para hadirin untuk mengikuti training keislaman di Gunung Tembak. Karena bertepatan hari libur, Suradi ikut sebagai peserta.
Ketika laki-laki asli Tuban ini tiba di lokasi, ia tercengang. Ternyata pondok yang dimaksud itu berada di tengah-tengah hutan, jauh dari keramaian. Ada lagi yang membuatnya tercengang: shalatnya!
“Saya belum pernah menemukan shalat semisal itu; lama sekali dan dilakukan dengan penuh antusias. Warga pondok berbondong-bondong datang ke masjid dengan menggunakan pakaian putih, ketika azan berkumandang,” ucapnya.
Melihat pemandangan itu Suradi merenung. Ia menyimpulkan, seyogianya seorang Muslim harus berperilaku demikian; mengutamakan shalat di atas segala urusan. Shalat harus dilakukan dengan serius dan bersungguh-sungguh, tidak bisa dengan asal-asalan.
Tapi di balik kekagumannya itu, pria kelahiran 1960 silam ini memiliki kecurigaan: fenomena shalat yang disaksikannya tempo hari, hanyalah rekayasa pesantren karena ada kunjungan tamu. Ia lalu memutuskan untuk kembali bertandang ke pesantren, bahkan bermalam di sana.
“Dan ternyata,” sambungnya, “praktik shalat yang dilaksanakan memang seperti itu. Apa lagi shalat malam/tahajjud-nya, luar biasa lama,” kenangnya.
Suradi kembali merenung. Ia yang waktu itu bekerja di salah satu perusahaan kayu, mengambil keputusan radikal. Ia hijrah ke Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak. Iming-iming naik pangkat dan gaji dari atasan, sama sekali tidak digubris.
Yang menjadikan ia bersyukur, sang bunda tidak keberatan dengan keputusannya, “Ibu hanya bilang, ‘Kamu sudah dewasa, lebih tahu mana yang terbaik untuk dirimu.”
Berbekal Sami’naa Wa Atha’na
Belum lama Suradi menginjakkan kaki di pesantren, ia langsung mendapat amanah mengajar para santri. Suradi mengaku sempat bingung dan ingin menolak amanah tersebut. Wajar saja, karena seumur-umur ia tak pernah bersentuhan dengan dunia pendidikan. Apalagi disuruh mengajar.
“Sudah, laksanakan saja. Di sini tidak boleh menolak kalau diberi amanah. Konsepnya ‘Sami’naa wa atha’naa (kami dengar dan kami taat),” kata teman-temannya kepada anak pasangan Kasriban (alm) dan Karsini (almh) ini.
Ia pun akhirnya menerima amanah sebagai guru sekaligus pengasuh para santri. Tujuh tahun mengabdikan diri di pesantren, ia merasakan ketenangan jiwa. Meski secara material jauh dari kemapanan. “Gaji yang saya terima ketika masih bekerja di perusahaan kayu Rp 200 ribu (tahun 1987-an). Di pondok hanya diberi RP 2500. Itu pun terkadang telat,” ungkapnya sambil terkekeh.
‘Tersandung Batu’
Akhir tahun 1997, Suradi mendapat amanah baru. Ia ditugaskan melanjutkan rintisan Pesantren Hidayatullah di Tanjung Pinang, Riau. Bersama istri dan ketiga buah hatinya, ia menyeberangi lautan demi menjalankan tugas baru. Tidak ada bekal materi yang dibawanya untuk mengembangkan dakwahnya. Untuk tempat tinggal, ia dan keluarga menempati salah satu rumah aparat desa yang memang tidak berpenghuni, sebab di pesantren baru ada ruangan untuk menampung belasan santri.
Minimnya dana yang dimiliki ini pula, yang kemudian mengharuskan Suradi sekeluarga dan para santri, mengonsumsi bubur ketela pohon. “Ketela-ketela yang ditanam di kebun pesantren itulah yang diolah menjadi bubur kemudian kita makan bersama santri,” terangnya.
Selain persoalan finansial, ada ‘batu sandungan’ lain yang cukup memakan pikiran, yang harus dihadapi anak kedua dari empat bersaudara ini. Betapa tidak, suatu hari, niat hati ingin bersilaturrahim ke Departeman Agama (Depag) guna menjalin hubungan yang baik dan mengenalkan Hidayatullah, ia justru disodori copy-an surat radio (telegram) dari pihak penegak hukum. Hidayatullah, menurut surat itu, termasuk pesantren yang harus diwaspadai.
Di antara alasannya, ungkap Suradi, karena Hidayatullah dianggap sebagai kumpulan yang ekslusif, tidak mau bergaul dengan orang lain, serta tidak menikah kecuali dengan orang pesantren sediri.
Suami Raqimah ini sudah berusaha membantah. Namun pihak Depag tetap menyoal keberadaan Hidayatullah di Tanjung Pinang. “Kami hanya menjalankan perintah atasan, Pak,” ucap pegawai Depag kepada Suradi.
Allah SWT jualah yang membukakan jalan bagi setiap persoalan hamba-hamba-Nya. Begitu juga dengan kasus yang dihadapi Suradi. Pada hari yang lain, ia menceritakan kasus yang menimpanya kepada seorang simpatisan pesantren. Mendengar berita itu, langsung saja simpatisan itu menyarankannya untuk menghadap Dandim (Komandan Distrik Meliter) setempat.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurut sang simpatisan, sebelum kedatangan Suradi, Dandim memiliki hubungan dekat dengan pihak pesantren. Benar saja, ketika bapak lima anak ini menghadap dan mengenalkan diri berasal dari Hidayatullah, si Dandim langsung merespon positif. Ia justru meminta kepada Suradi untuk mengembangkan dakwah. Dan ketika surat edaran yang diterima dari Depag disodorkan kepada Dandim, langsung saja ia menukas, “Tidak benar ini. Teruskan saja dakwah Hidayatullah,” ucapnya yang langsung menenangkan pikiran Suradi.
Untuk mengembangkan dakwahnya, selain dengan menggalakkan silaturrahim dan mengadakan majelis-majelis pengajian, alumni PGA Bojonegoro ini juga berupaya ‘menghidupkan’ masjid kampung daerah binaannya. Respon masyarakat terhadap dakwahnya cukup baik, tak terkecuali aparat desa. Berkat wasilah dari aparat desa itu juga, bantuan dari Singapura pun pernah singgah di pasantren.
Selain di Tanjung Pinang, beberapa daerah lain pernah dijajahi pemilik hobi membaca ini, untuk menyiarkan Islam. Antara lain Kutai Timur, Tarakan, dan terakhir Berau, hingga saat ini. Beberapa amanah pernah ia pegang, mulai dari sekretaris yayayasan, ketua yayasan, hingga PD (Pimpinan Daerah) dan sekarang pembina di Hidayatullah Berau, Kalimantan Timur.
“Mungkin karena sudah dianggap tua, sekarang dijadikan pembina,” kelakarnya.* dikutip dari Suara Hidayatullah
Saksikan juga video Ketika Pesantren Berdampingan dengan Lokalisasi