Hidayatullah.com– Kandungan susu pada susu kental manis (SKM) hanya satu persen, sisanya justru memiliki kandungan gula dan karamel. Karena itu, SKM berbahaya bagi anak di bawah umur 12 tahun.
Demikian ditekankan Ketua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat, saat memberikan penyuluhan kesehatan di Universitas Muhammadiyah Mataram di Mataram, Nusa Tenggara Barat (27/06/2019).
“Berdasarkan data yang kami peroleh atau bisa dilihat di label SKM, kandungan susunya sangat sedikit dan itu sangat berbahaya bagi anak,” jelasnya.
Pemerintah melalui Balai Pengawas Obat dan Makanan telah memberikan empat larangan terhadap iklan SKM. Larangan itu meliputi iklan atau produk dilarang menampilkan anak usia di bawah lima tahun, dilarang menggunakan visualisasi SKM setara susu lain atau pelengkap zat gizi, dilarang menggunakan visualisasi susu dalam gelas yang diseduh, dan iklan dilarang ditayangkan pada jam acara anak-anak.
Arif mengatakan, meskipun dikeluarkan larangan namun pihak SKM justru mengiklankan produk mereka langsung ke masyarakat.
“Mereka mempromosi langsung ke lapangan, mereka datangi sekolah, kumpulan komunitas, berdayakan vloger, jadi tetap bermain di arena susu,” sebutnya.
Baca: DPD Minta Peruntukan SKM Disosialisasikan Masif dan Komprehensif
Diungkapkan, sejak satu abad belakangan tepatnya mulai tahun 1920, masyarakat sudah direcoki dengan SKM yang dianggap setara dengan susu dari iklan di televisi. Padahal berdasarkan penelitian, justru SKM lebih banyak mengandung gula.
Ia menjelaskan, SKM sangat berbahaya apabila dikonsumsi dengan cara diseduh (dicampur air panas). Sebab, kadar gula sangat banyak dan melebihi batas konsumsi gula harian. Mestinya, kata Arif, SKM digunakan bukan sebagai minuman, tapi sebagai topping.
“Kami meneliti di Kendari dan di Batam. Di Banten kami temukan salah satu penyebabnya adalah SKM, dia gizi buruk,” jelasnya kutip INI-Net, Jumat (28/06/2019).
Mengkonsumsi SKM, selain menyebabkan gizi buruk pada anak, dinilai juga menyebabkan diabetes.
SKM diketahui hanya pelengkap makanan, bukan merupakan susu. Sehingga sangat berbahaya jika masyarakat luas meyakini SKM adalah susu.
“SKM diasumsikan sebagai susu berasal dari iklan televisi. Temuan kami, mereka meyakinkan SKM sebagai susu justru dari perawat di desa,” ungkapnya.
Menurutnya, di luar negeri tidak ada lagi yang mengkonsumsi SKM, sebab mereka menyadari kalau mengkonsumsi rutin akan mengancam keselamatan generasi masa depan.
Walaupun memiliki bahaya, SKM dapat dijumpai di supermarket yang justru ditaruh pada rak khusus susu.
Baca: Kemenkes: Susu Kental Manis Lebih Banyak Mengandung Gula dan Lemak daripada Protein
Perlu Pengawalan terkait SKM
Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kesehatan NTB, Nurhandini Eka Dewi, menerangkan, mengonsumsi SKM akan berisiko dari sisi gizi, sebab asupan gizi tidak mencukupi.
Sedangkan Aisyiyah sebagai organisasi Persyarikatan Muhammadiyah mendukung penuh program sosialisasi terkait SKM yang dilakukan oleh YAICI dan mengapresiasinya.
Menurut Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Chairunnisa, perlu ada pengawalan terhadap kesehatan generasi penerus bangsa, terutama mensosialisasikan resiko atas penggunaan SKM sebagai susu.
Ia mengatakan, memang, tanggung jawab kesehatan masyarakat memang ada di tangan pemerintah. Akan tetapi, pekerjaan rumah ini akan lebih efektif dan efisien bila dilakukan oleh seluruh elemen yang ada.
“Termasuk keluarga sebagai elemen terkecil dalam sebuah negara,” imbunya.
YAICI bersama Pengurus Pusat Aisyiyah menjalin sinergi melaksanakan edukasi bijak mengkonsumsi SKM di sejumlah kota di Indonesia. Edukasi diadakan dalam bentuk talkshow dan kreasi makanan sehat bergizi.
Di kota Mataram, kegiatan edukasi tersebut dihadiri 200 kader dan kepala BPOM NTB serta Kepala dinas kesehatan NTB.*