Hidayatullah.com–Diperkirakan sekitar 60 persen anak di perkotaan Sumatera Utara cenderung mengonsumsi makanan mengandung bahan-bahan kimia dan pengawet. Dalam waktu jangka panjang akan berdampak pada kualitas hidup anak tersebut dan beresiko lebih besar menderita kanker untuk 10 atau 20 tahun ke depan.
Hal ini diungkapkan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut dr Henry Salim Siregar SpOG. Kata dia, pola makan atau gaya hidup anak-anak sekarang lebih cenderung mengonsumsi makanan mengandung bahan kimia berbahaya atau pengawet.
“Padahal ini sangat berbahaya karena kualitas hidup terganggu, siapa nanti yang menjadi pemimpin bangsa ini. Memang dampaknya bukan sekarang, tapi akan terlihat dalam waktu jangka panjang. Anak-anak sekarang juga minim mengonsumsi sayur-sayuran, padahal ini sangat baik untuk kesehatan,” kata Henry Salim Siregar.
Karena itu, pada 2012 mendatang, pihaknya bekerjasama dengan pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan, akan mensosialisasikan kembali agar anak-anak memakan makanan alami yang dimasak di rumahnya masing-masing. “Kita akan sosialisasikan. Nggak baik kalau anak-anak semakin lama mengonsumsi makanan seperti ini,” jelasnya baru-baru ini.
Hal tersebut harus dilakukan agar masyarakat tahu akan kesehatan dan bahaya kanker dapat dicegah. “Akan disosialisasikan ke sekolah-sekolah agar anak-anak itu mengonsumsi makanan rumah yang kebersihan dan gizinya terjamin,” katanya sembari mengimbau para orangtua untuk menyajikan makanan sehat di rumah.
Henry Salim memaparkan, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) atau food additives sudah sangat meluas. Hampir semua industri pangan, baik industri besar maupun industri rumah tangga, dipastikan menggunakan BTP. Penggunaan BTP memang tidak dilarang asalkan bahan tersebut benar-benar aman bagi kesehatan manusia dan dalam dosis yang tepat.
Kata dia, pengawet merupakan salah satu jenis BTP yang paling banyak digunakan oleh produsen makanan. Penggunaan BTP dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran atau agar produk tahan lama, serta untuk memperbaiki rasa, aroma, penampilan fisik, dan warna. Namun, karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya penggunaan BTP, para produsen makanan menggunakan BTP (pengawet) secara berlebihan. Paling banyak mereka menggunakan formalin.
Dikatakannya, formalin merupakan salah satu pengawet yang akhir-akhir ini banyak digunakan dalam makanan, padahal jenis pengawet tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan. Formalin merupakan larutan tidak berwarna, berbau tajam, mengandung formaldehid sekitar 37% dalam air, biasanya ditambahkan metanol 10-15%.
Pengawet ini memiliki unsur aldehida yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu, formalin akan mengikat unsur protein, mulai dari bagian permukaan tahu hingga terus meresap ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila ditekan tahu terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya tahu atau makanan berformalin lainnya menjadi lebih awet.
“Formalin selain harganya murah, mudah didapat dan pemakaiannya pun tidak sulit sehingga sangat diminati sebagai pengawet oleh produsen pangan yang tidak bertanggung jawab. Hasil survei dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan, sejumlah produk pangan menggunakan formalin sebagai pengawet,” kata dia.
Dia juga memaparkan, produk makanan yang paling gampang dideteksi mengandung formalin, yakni ikan asin. Cirinya, tahan lama pada suhu kamar (25 derajat C), lebih dari 1 bulan. Warna bersih dan cerah (tidak kuning kecoklatan). Tekstur keras, tidak berbau khas ikan asin dan tidak mudah hancur, serta tidak dihinggapi lalat.
Untuk ikan basah/udang, insang berwarna merah tua dan tidak cemerlang. Warna putih bersih dengan tekstur yang kenyal. Awet sampai 3 hari pada suhu kamar, tidak mudah busuk dan bau. “Kalau untuk jajanan anak-anak yang mengandung pengawet dan zat pewarna kimia berbahaya, bisa ditandai dengan rasa pahit makanan tersebut, misalnya pada kerupuk. Kemudian warnanya sangat cerah seperti pada es ganepo dan es sejenisnya. Pada buah-buahan asinan dengan sedikit pahit dan kenyal, dan lainnya,” jelasnya, dimuat laman Sumut Pos.
Terpisah, Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Medan, Sacramento Tarigan mengakui saat ini anak-anak di perkotaan khususnya di sekolah, mayoritas mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan bahan pengawet seperti bakso, mi, kerupuk berwarna, lontong dan lainnya.
“Memang dalam operasi rutin yang kita lakukan melalui mobil operasional laboratorium keliling ke sekolah-sekolah, masih banyak anak-anak yang mengonsumsi makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya dan masih ada ditemukan para pedagang yang menjajakan makanannya mengandung bahan tidak baik tersebut. Tapi tidak semua pedagang seperti itu, maka konsumen juga harus lebih pintar dalam membeli,” ujarnya.*