Oleh: Joko Rinanto
Hidayatullah.com | SETELAH puasa sebulan, memasuki Lebaran ada sebagian di antara kita yang makan dan minum tak terkontrol. Seperti ajang “balas dendam”. Akibatnya, muncul gejala penyakit yang sebelumnya reda atau bahkan tidak ada, seperti pundak dan leher kaku, sakit kepala, dan angka kolesterol total melonjak.
Hidangan Lebaran memang seringkali menggiurkan. Jika tak habis, biasanya dipanaskan hingga berhari-hari. Apalagi banyak hidangan yang komposisinya hampir sama, yaitu mengandung minyak sawit dan santan.
Sebenarnya santan dan minyak bukan akar masalah, tetapi ketidakseimbangannya-lah yang dapat mencetuskan masalah. Makan berlebihan adalah salah satu faktor yang menyebabkan tidak seimbang.
Faktor lainnya adalah makanan yang tidak thayyib (baik). Padahal Allah SWT telah tegas mengingatkan:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi thayyib dari apa yang telah dirizqikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.” (al-Ma’idah [5]: 88).
Bisa jadi suatu hidangan tergolong halal, tapi tidak thayyib bagi orang yang memiliki mizaj (condong) kepada penyakit tertentu. Misalnya, susu, mentimun, dan santan lebih mudah memicu/memperparah penyakit yang dingin-lembab pada orang yang mizaj-nya balghamiyah (plegmatis) dengan ciri-ciri mudah mengantuk, obesitas, banyak dahak, penderita hidrosefalus, vitiligo, dan sebagainya.
Bagaimana dengan kolesterol? Ini merupakan hasil pencernaan glukosa, asam lemak, dan beberapa jenis asam amino yang kemudian menghasilkan senyawa bernama asetil coenzim A.
Kolesterol merupakan bagian sangat penting pada manusia. Hal ini diperlukan untuk membentuk selaput dinding sel. Kelenjar gonad menggunakan kolesterol sebagai bahan baku hormon steroid sex. Vitamin D yang dibentuk tubuh juga berawal dari kolesterol. Paru-paru yang berfungsi sehat perlu surfaktan yang bahan bakunya berasal dari kolesterol. Aktivitas antioksidan kolesterol juga berperan mencegah beberapa jenis kanker.
Jika fungsinya sedemikian penting, mengapa senyawa alami ini dianggap sebagai ancaman kesehatan?
Kolesterol tidak larut dalam darah. Bersama lemak lainnya harus berikatan dengan protein yang larut dalam air agar bisa terlarut dalam darah. Maka ada yang disebut LDL (Low Density Lipoprotein) dan HDL (High Density Lipoprotein).
LDL menyalurkan kolesterol ke bagian sel yang membutuhkan, sedangkan HDL mengangkut kolesterol yang tak terpakai atau rusak dari berbagai lokasi untuk dibawa ke hati agar bisa didaur ulang.
Partikel LDL besar sebenarnya dianggap tidak menimbulkan masalah klinis. Hanya partikel LDL kecil, padat, plus teroksidasi yang sebenarnya dianggap menjadi biang keladi penimbunan plak pemicu peradangan di pembuluh darah.
Angka kolesterol normal bukan berarti tanpa masalah. Yang tinggi pun belum tentu bermasalah. Mengapa? Saat ini telah diketahui ada senyawa yang disebut Apolipoprotein B (Apo B), yaitu protein yang terdapat pada pertikel lipoprotein dan bisa meningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Menurut jurnal Apolipoproteins Versus Lipids As Indices of Coronary Risk and As Targets for Statin Treatment, pemeriksaan Apo B lebih unggul dibandingkan pemeriksaan kadar kolesterol total ataupun kolesterol LDL untuk memprediksi risiko penyakit vascular. Jadi sebenarnya kolesterol baru akan menjadi “masalah” ketika ada beberapa faktor yang mendukung ketidaknormalan, seperti proses oksidasi, inflamasi, Apo-B yang di atas normal, dan sebagainya.
Menurut hasil penelitian, lemak dalam cairan tubuh dianggap sebagai humor dam (darah). Ibnu Sina menyebutnya “Dasimah ad-dam.” Humor darah yang baik akan menutrisi tubuh dan yang tidak baik akan menimbulkan penyakit.
Faktor kesalahan (su’ al-mizaj) sistem pencernaan di lambung dan hati akan menghasilkan humor darah yang tidak baik, walau kualitas asal bahan nutrisi yang dimakan adalah baik. Maka dalam Islam banyak ayat dan Hadits yang menyatakan buruknya makan berlebihan dan tak menghiraukan kapasitas saluran cerna.*
Praktisi thibbun-nabawi. (Majalah Suara Hidayatullah edisi Juni 2018).*