Allah mengecam Ahli kitab yang memerintahkan berbuat baik, namun diri mereka sendiri tidak mengamalkannya
Hidayatullah.com | DIKISAHKAN dalam beberapa riwayat bahwa ketika Nabi ﷺ berada di Hudaibiyah, beliau memerintahkan orang-orang untuk menyembelih hewan kurban dan memotong rambut masing-masing, namun mereka tidak menuruti perintah tersebut.
Dalam keadaan agak kecewa, Rasulullah ﷺ masuk ke tendanya dan berkata kepada istri beliau Ummu Salamah r.a: “Tiga kali aku memerintahkan orang-orang untuk menyembelih hewan mereka dan mencukur rambutnya. Tapi lihatlah betapa malas dan lambannya mereka.”
Saat itu, muncullah intuisi yang bijak dari sang istri yang dapat menyelamatkan situasi. Ummu Salamah r.a pun berkata dengan lembut kepada suami tercinta: “Ya Rasulullah, engkau tidak bisa membuat 1.500 orang ini melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Lakukan saja kewajibanmu yang telah Allah tetapkan atasmu. Majulah dan laksanakanlah ibadahmu sendiri di tempat terbuka agar setiap orang bisa melihatmu. Ini tentu akan membuat mereka merasa bodoh,” kata Ummu Salamah.
Nabi ﷺ menyadari makna saran dari istrinya itu. Beliau pun keluar tenda dan melihat matahari telah terbit dan menerangi gurun yang sangat luas itu. Kini semua orang menyaksikannya.
Beliau berjalan ke tempat hewan ternak dan mengambil seekor unta lalu menggiringnya ke tempat terbuka dan menyembelihnya sambil berucap: “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Kemudian beliau memanggil Khirasy bin Umayyah al Khuza’i, dan mencukur rambutnya. Ketika kaum Muslim menyaksikan apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ tersebut, mereka pun bangkit dan mengikutinya. Mereka segera menyembelih hewan dan mencukur rambut mereka. (Al-Mubarakfuri, ar Rahiq al Makhtum, hal. 314).
Demikianlah salah satu cara Rasulullah ﷺ mentarbiyah sahabatnya, yaitu mengerjakan terlebih dahulu dan memberi contoh setiap perintah yang akan disampaikan. Inilah yang menjadi rahasia sukses beliau dalam mengemban misi tarbiyah dan dakwah.
Ajaran Al-Quran yang dibawanya telah menyatu menjadi akhlak dan kepribadian dalam dirinya. Karenanya ketika Aisyah r.a ditanya tentang akhlak Rasulullah ﷺ, dia menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran.
Allah Ta’ala juga mengingatkan agar setiap ucapan itu selalu sesuai perbuatan.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: Ash Shaff: 2-3).
Syeikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan makna ayat ini: “Mengapa kalian mengatakan kebaikan dan mendorongnya, dan boleh jadi kalian memuji-muji kebaikan itu namun kalian tidak melakukannya. Kalian melarang keburukan, dan boleh jadi kalian mensucikan diri dari keburukan itu, namun kalian melakukannya, bahkan menjadi sifat kalian. Lalu apakah kondisi tercela itu pantas bagi orang-orang beriman? Bukankah amat besar murka Allah terhadap orang yang mengatakan sesuatu yang dia tidak kerjakan? Oleh karenanya, orang yang memerintahkan kebaikan hendaknya menjadi orang pertama yang melakukannya, dan orang yang melarang keburukan seharusnya menjadi orang yang jauh darinya.” (As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman, hal. 858).
Pada dasarnya tabiat manusia cenderung mengikuti orang yang mencontohkan secara langsung apa yang diucapkannya. Berbeda dengan orang yang hanya pandai bicara dan mengajak kepada kebaikan.
Namun dia sendiri tidak melakukannya. Allah mengecam Ahli kitab yang memerintahkan berbuat baik, namun mereka sendiri tidak mengamalkannya. Allah berfirman:
﴿أَتَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ ٱلْكِتَٰبَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ﴾
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS: Al-Baqarah:44)
Ayat ini tidak bermaksud bahwa jika seseorang tidak mengamalkan ilmunya maka dia tidak boleh mengajak orang lain kepada kebaikan atau mencegahnya dari kemungkaran. Manusia selalu memilki kewajiban ganda, yaitu mengajak dirinya sendiri dan mengajak orang lain.
Manusia selalu cenderung meniru kepribadian orang menjadi panutan dan idolanya, melakukan sesuatu karena terobsesi dengan sikap seseorang. Tindakan meniru dan mengikuti perbuatan terpuji disebut meneladani, hal inilah yang terjadi dalam kehidupan umat manusia.
Itulah sebabnya Allah SWT mengutus Rasulullah ﷺ sebagai teladan yang paripurna bagi umat manusia. Pribadi beliau merupakan gambaran sempurna tentang ajaran Islam yang menjadi panutan hingga akhir zaman.
Dalam konteks pendidikan dan dakwah, keteladanan adalah hal yang mutlak, bahkan menjadi kunci sukses bagi para murabbi dan dai dalam membina dan mendidik umat.
Murabbi dan dai adalah panutan dalam akidah, akhlak dan ibadah, serta segala bentuk kebaikan dalam menjalani kehidupan ini. Kesuksesan pendidikan sangat ditentukan oleh keteladanan yang ditampilkan oleh pendidik terhadap anak didiknya. Wallahu A’lam.*