Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
INI cerita Abdullah bin Suwaid al-Manqary tentang Qais bin Ashim. Ia menuturkan peristiwa yang terjadi pada detik-detik terakhir kehidupan Qais bin Ashim. Qais memanggil anak-anaknya yang berjumlah tiga puluh orang dan semuanya laki-laki, lalu berwasiat kepada mereka
“Wahai anak-anakku,” kata Qais bin Ashim, “Jika aku sudah meninggal, angkatlah orang yang paling tua di antara kalian sebagai pemimpin menggantikan ayah kalian dan janganlah mengangkat orang yang paling muda di antara kalian, sehingga hal itu menyinggung orang yang lebih layak untuk itu di antara kalian.”
Qais bin Ashim melanjutkan wasiatnya, “Janganlah kalian menoleransi wanita yang meratap tangis, karena aku pernah mendengar Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa sallam melarang ratap tangis (karena kematian seseorang). Hendaklah kalian mencari harta karena ia merupakan peringatan bagi yang mulia dan dibutuhkan orang yang hina.”
“Janganlah kalian memberikan kepada leher unta kecuali menurut haknya dan janganlah kalian menghalangi haknya. Waspadailah orang yang asal-usul keturunannya buruk, karena meskipun suatu hari ia membuatmu senang, maka dia akan lebih banyak menyakitimu. Waspailah anak-anak musuh kalian, karena mereka pun merupakan musuh kalian yang mengikuti jalan ayah mereka. Jika aku sudah meninggal, kuburlah aku di suatu tempat yang tidak diketahui orang-orang dari Bani Bakar bin Wa’il, karena antara diriku dan mereka ada permusuhan dan perselisihan pada masa Jahiliyah. Aku khawatir mereka menggali kuburku, sehingga merusak dunia dan akhirat mereka,” kata Qais bin Ashim meneruskan.
Kemudian Qais bin Qashim meminta tabung penyimpan anak panah dan memanggil anaknya yang paling besar bernama Ali, lalu ia berkata, “Keluarkanlah satu anak panah dari tabung ini.”
Maka anaknya mengeluarkan satu batang anak panah. Kemudian Qais berkata, “Patahkan!”
Anaknya pun mematahkan anak panah itu. Lalu Qais berkata, “Keluarkan dua batang anak panah!”
Anaknya mengeluarkan dua batang anak panah. Qais berkata, “Patahkan keduanya!”
Anaknya mematahkannya. Kemudian Qais berkata, “Keluarkanlah tiga batang anak panah.”
Anaknya mengeluarkan tiga batang anak panah. Qais berkata, “Ikatlah tiga batang anak panah ini dengan tali!”
Maka anaknya mengingat anak panah tersebut. Lalu Qais berkata, “Patahkan!”
Tetapi anaknya tidak mampu mematahkan. Maka Qais pun berkata, “Wahai anakku, beginilah kalian apabila bersatu-padu. Begitu pula perumpamaan kalian jika bercerai-berai.”
Kisah menjelang kematian Qais bin Ashim kita hentikan sampai di sini. Ada yang perlu kita ambil dari pesan Qais kepada anak-anaknya tentang mahalnya kesatuan langkah dan kesatuan hati kita sebagai anak panah agama dengan saudara-saudara kita lainnya. Seperti anak panah itu, kalau kita satu ayunan langkah dengan saudara kita yang lain dalam satu bendera kepemimpinan, maka insya-Allah kedudukan kita akan kokoh di hadapan umat manusia.
Kita memiliki kehormatan (‘izzah) sebagai umat, sehingga meskipun tak ada yang kita miliki, tetapi kita tetap dapat menegakkan kepala dengan berwibawa.
Sebaliknya, andaikata seluruh kekuatan dan kelebihan diberikan kepada kita, tetapi apabila hati kita saling berselisih, antar kita saling berebut memimpin dan saling menolak untuk dipimpin, maka seluruh kekuatan itu tidak ada artinya apa-apa. Kekuatan yang sangat besar itu bisa tenggelam begitu saja dihadapnya sebuah kekuatan kecil yang bersatu.
Hari ini, kondisi kita rasanya seperti itu. Kita tidak satu langkah dalam berbuat dan satu hati dalam bersikap, sehingga keadaan kita begitu mengenaskan. Sebagai mayoritas, kita justru tak berdaya karena banyak di antara kita yang berebut saling membusungkan dada. Terpecah menjadi dua saja sudah terlalu banyak. Apalagi lebih dari itu!
Semoga kita bisa belajar dari kebodohan kita sendiri.
Penulis adalah penulis buku-buku parenting