DALAM Surah Al-Mukminun ayat 55-56 Allah berfirman
يَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ
نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَّا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepda mereka itu (berarti bahwa Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”
Ayat tersebut memberikan kriteria imperatif bahwa kebaikan dari Allah tidak bisa dihubungkan dengan aspek keduniawian yang sering dianggap sebagai barometer kemuliaan manusia pada umumnya, yakni harta dan anak-anak.
Dalam tafsirnya Ibn Katsir menuliskan, “Apakah orang-orang yang tertipu itu mengira bahwa apa yang Kami (Allah) berikan kepada mereka itu; baik berupa harta kekayaan maupun anak, merupakan penghormatan Kami terhadap mereka dan kemuliaan mereka dalam pandangan Kami? Tidak, sama sekali tidak.”
Dengan demikian ada hal lain yang menjadikan seorang Muslim ditetapkan berada dalam kebaikan. Allah pun menjelaskan standard dari orang-orang tersebut dalam lanjutan firman-Nya pada surah yang sama.
Pertama;
إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka.” (QS: Al-Mukminun [23]: 57).
Ibn Katsir menjelaskan, yang dimaksud adalah debang kebaikan, keimanan, dan amal sholeh mereka, mereka takut kepada Allah dan merasa khawatir akan kebencian-Nya terhadap mereka. Sebagaimana Hasan Al-Bashri berkata, “Sesungguhnya orang Mukmin mengumpulkan kebaikan dan rasa khawatir, sedangkan orang munafik mengumpulkan keburukan dan rasa aman.”
Dengan kata lain, rasanya perlu waspada jika selama ini tanpa sadar jiwa selalu menyandarkan rasa senang sekaligus aman dengan hanya bersandar pada sumber penghasilan, aset yang dimiliki serta peluang dari perniagaan yang dijalankan, tanpa pernah sedikit pun memperhatikan apa yang selama ini dilakukan dalam keseharian, baik kaitannya dengan Allah maupun terhadap sesama.
Kedua:
وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ
“Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka.” (QS. Al-Mukminun [23]: 58).
Menurut Ibn Katsir, artinya mereka beriman kepada ayat-ayat kauniyyah dan syar’iyyah. Tentang manivestasi kandungan ayat tersebut Allah jelaskan dalam ayat lainnya kala menjelaskan tentang Maryam.
ُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
“Dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabb-nya dan kitab-kitab-Nya.” (QS:At-Tahrim: 12).
Maksudnya, lanjut Ibn Katsir, “Dia meyakini bahwa apa yang telah terjadi merupakan takdir dan ketetapan Allah. Apa yang disyari’atkan, jika itu berupa perintah, maka ia termasuk yang disukai dan diridhai-Nya. Jika berupa larangan, maka ia termasuk yang dibenci dan ditolak-Nya.
Dalam kasus kontemporer, musibah kekeringan misalnya, secara alamiah sains menunjukkan peristiwa tersebut sebagai dampak dari gelombang Elnino, namun secara Ilahiyah, kita mesti meyakini bahwa itu tidak lain adalah kehendak Allah dan atas dampak buruk fenomena alam tersebut, kita yakin Allah jua yang bisa menjauhkannya.
Ketiga:
وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Rabb mereka (seusuatu apa pun).” (QS. Al-Mukminun [23]: 59).
Artinya tidak beribadah kepada ang lain bersama-Nya, tetapi mereka mengesakan-Nya seraya mengetahui bahwasanya tidak ada Rabb selain Allah, yang Mahaesa lagi menjadi tempat bergantung. Prinsipnya apa dan bagaimana semua diserahkan dan diikhtiarkan sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya, murni titik.
Keempat:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Mukminun [23]: 60).
Ibn Katsir memaparkan, “Maksudnya mereka memberikan suatu pemberian (sedekah) sedang mereka merasa takut lagi penuh kekhawwatiran kalau pemberian itu tidak diterima, karena mereka takut (akan) kekurangan dalam memenuhi berbagai persyaratan.” Subhanalloh, terhadap kebaikan yang dilakukan sekalipun seorang Mukmin tidak dianjurkan untuk berbangga apalagi membusungkan dada.
Apabila empat kriteria di atas dimiliki oleh seorang Muslim, maka berlakulah apa yang Allah tegaskan, “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
Ibn Katsir berpendapat, “Dengan demikian, Dia telah menjadikan mereka termasuk orang-orang yang segera memperolehnya.”
Semoga Allah memberikan kekuatan diri, keluarga dan umat Islam di negeri ini untuk mengamalkan empat kriteria tersebut, sehingga tegaklah kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, tertib, makmur dan sejahtera secara merata dan menginspirasi dunia. Wallahu a’lam.*