TIDAK jarang setiap orang ingin menekuni suatu amalan, seperti konsisten membaca dan menghafal Al-Qur’an. Tetapi kesibukan kadangkala memendam semua keinginan tersebut.
Demikian pula yang lain, ada yang dalam seharinya ingin membaca sebuah buku. Tetapi, lagi-lagi karena padatnya kegiatan, semua seperti sangat sulit untuk diwujudkan.
Belum lagi kala hati amat berat untuk melepas gadget yang kerap menggoda mata untuk terus memandanginya. Semua keinginan baik itu kian nyaman untuk ditinggalkan begitu saja, sehingga penyesalan pun hanya sepintas lalu dan kemudian keinginan itu hanya pernah hadir dalam hati untuk selanjutnya keok oleh 1000 alasan yang justru dibuat sendiri.
Terhadap situasi tersebut tentu nurani ke-Islam-an setiap jiwa menolak untuk memilih angkat tangan. Lantas bagaimana mengatasinya?
Pertama, kuatkan niat. Bicara niat ini, sangat relevan jika dianalogikan dengan kondisi kaum Muslimin yang sedang berpuasa.
Tanpa niat, orang yang sudah sarapan dan tidak makan siang bisa kebingungan karena ditendang rasa lapar. Tetapi, dengan niat, tidak makan pagi, siang hingga sore, seorang Muslim akan tenang-tenang saja. Jelas karena didahului niat yang kuat.
Kondisi seperti itu juga berlaku dalam amalan lainnya. Seperti membaca dan menghafal Al-Qur’an, membaca buku atau pun menulis serta beragam aktivitas bermanfaat lainnya. Oleh karena itu, sebelum ingin melakukan apapun, pastikan niat dalam hati sudah cukup kuat, sehingga kesadaran diri untuk melakukan niat tersebut terus mendorong hati untuk benar-benar menepatinya.
Tidak heran jika Nabi Muhammad berpesan agar apapun yang diamalkan sangat ideal jika didahului dengan niat.عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]
“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.”
Akan tetapi, perlu terus digarisbawahi bahwa menguatkan niat itu tidak mudah. Sufyan Al-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku.“
Kedua, lakukan dan lakukan segera. Sering kali, ketika hati sadar akan niat yang mesti segera dilakukan, situasi dan kondisi sekitar diri kurang mendukung. Di sini biasanya terjadi pertentangan dalam hati. Antara segera atau ditunda. Ini biasanya umum terjadi.
Dalam situasi seperti itu, jangan memilih untuk menunda, terlepas apakah hati kurang konsentrasi atau akan terganggu keadaan. Lakukan dan segeralah untuk melakukannya. Karena begitu dilakukan, apa yang berkumpul dalam hati sebagai asumsi untuk menunda ternyata tidak benar-benar terjadi.
Analogi cara kedua ini bisa diperhatikan dari bagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan umat Islam untuk bersegera dalam kebaikan, seperti sholat, menuju ampunan Allah dan menunaikan zakat. Sebab, niat baik, jika ditunda kemungkinan terbesarnya adalah tidak terlaksana. Nah, bagaimana jika yang ingin kita lakukan itu bukan kewajiban yang mendatangkan ancaman dosa dari Tuhan?
Ketiga, susun schedule. Cara ketiga ini tidak lebih dari sekadar alat bantu namun berperan vital dalam suksesnya pelaksanaan amalan baik.
Ketika seseorang mesti ke kantor selama 8 jam dan pulang pergi dengan memakan waktu 2 jam karena macet, maka ia mesti membuat schedule. Tanpa itu, kemungkinan besar, hidupnya akan mengalir namun tanpa ada peningkatan kualitas diri yang memadai.
Misalnya, menetapkan waktu membaca dan menghafal Al-Qur’an 20 menit sebelum tidur dan sebelum Shubuh. Schedule semacam ini akan memudahkan siapapun ringan menjalankan dua cara sebelumnya.
Selain itu, sangat relevan rasanya ungkapan yang mengatakan, “Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir.”
Artinya, hari yang tidak diatur oleh seorang Muslim tidak akan menjadi ladang kebaikan yang maksimal. Sementara waktu terus bergulir dan ketidakmaksimalan kebaikan diri terus berjalan. Inilah sebenarnya awal dari segala kerugian.
Konkretnya terkait manfaat dari cara yang ketiga ini, sejarah kemenangan Sultan Muhammad Al-Fatih bisa menjadi argumen kuat.
Pentingnya perencanaan yang matang bukanlah teori, buktinya adalah bagaimana Muhammad Al Fatih mencurahkan berbagai upaya untuk merencanakan dan mengatur penaklukan Konstantinopel, hingga akhirnya bisa terwujud setelah menanti berabad-abad lamanya.
Dengan kata lain, mustahil penaklukan Konstatinopel bisa dicapai dengan cara bertindak yang asal bertindak, bukan tindakan dadakan, atau tindakan tanpa perencanaan. Namun buah dari perencanaan jauh-jauh sebelum penyerbuan dilakukan.*